Rencana ini memerlukan kemas kini dalam Bahasa Melayu piawai Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting |
Perang Boshin 戊辰戦争 | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Pertempuran Ueno yang membawa kepada Kejatuhan Edo | |||||||
| |||||||
Pihak yang terlibat | |||||||
1868 |
1868
Berpaling tadah: | ||||||
1869 Empayar Jepun |
1869 Republik Ezo | ||||||
Komandan dan pemimpin | |||||||
1868–1869
|
1868 1869
| ||||||
Kekuatan | |||||||
more than 15,000 (early 1868)[a] | |||||||
Kerugian dan korban | |||||||
1,125+ terbunuh dan cedera | 4,550+ terbunuh, cedera dan ditawan | ||||||
Total: 8,200 terbunuh dan 5,000+ cedera[5] |
Perang Boshin (戊辰戦争 , Boshin sensō, Perang Tahun Naga)[6] adalah perang saudara di Jepun dari tahun 1868 hingga 1869 antara Keshogunan Tokugawa dan pihak yang ingin mengembalikan kekuasaan politik ke tangan empayar. Perang dari awal lagi bermula dari rasa tidak puas kalangan bangsawan dan samurai muda terhadap sifat berlembut keshogunan terhadap orang asing. Perikatan samurai dari bagian selatan Jepun (Domain Choshu dan Satsuma) dan pejabat istana berhasil menguasai istana Maharaja dan mempengaruhi Maharaja Meiji yang waktu itu masih belia. Shogun berkuasa, Tokugawa Yoshinobu menyedari kedudukannya yang lemah, dan menyerahkan kekuasaan politik ke tangan Maharaja. Dengan demikian, Yoshinobu berharap kelangsungan Puak Tokugawa dapat dipertahankan, dan berharap kelak mampu kembali ke pemerintahan. Pergerakan ketenteraan tentera empayar membuat shogun Yoshinobu merasa terdesak. Ditambah kerusuhan yang dibuat yang menyokong maharaja di Edo, serta perintah Maharaja yang dipengaruhi paksi Domain Satsuma dan Choshu untuk membubarkan Puak Tokugawa, operasi tentera dilancarkan keshogunan untuk merebut istana Maharaja di Kyoto. Pasukan pihak empayar jauh lebih kuat dari pasukan keshogunan. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, pasukan empayar agak modern. Setelah kalah dalam serangkaian pertempuran yang berakhir dengan jatuhnya Edo, Yoshinobu secara peribadi menyerah. Pasukan yang taat kepada Tokugawa mundur ke bagian utara Pulau Honshu sebelum menyeberang ke Hokkaido dan membentuk Republik Ezo. Pendukung Tokugawa kehilangan benteng terakhir mereka setelah kalah dalam Pertempuran Hakodate. Kekuasaan atas seluruh Jepun kembali di tangan pihak empayar, dan sekaligus menandai berakhirnya fase militer Restorasi Meiji.
Sekitar 12.000 orang terlibat dalam perang, dan 3.500 di antaranya tewas.[7] Faksi empayar yang menang memutuskan untuk tidak mengusir orang asing dari Jepun, melainkan mengadopsi kebijakan modernisasi dengan tujuan akhir negosiasi ulang Perjanjian Tidak Adil dengan pihak Barat. Berkat kegigihan Saigō Takamori yang memimpin faksi empayar, pendukung Tokugawa diberi grasi, dan sejumlah mantan pemimpin keshogunan diberi jabatan baru dalam pemerintahan baru.
Perang Boshin menjadi bukti kemajuan modernisasi Jepun yang ketika itu baru saja selama 14 tahun membuka diri terhadap orang Barat. Keterlibatan pihak Barat, khususnya Britania Raya dan Perancis sangat mempengaruhi situasi politik dalam negeri. Di kemudian hari, perang ini sering didramatisasi, termasuk film produksi Amerika The Last Samurai.
Latar belakang politik
Kekecewaan terhadap keshogunan
Selama dua abad hingga 1854, Jepun menjalankan politik isolasi (sakoku) dan hanya berhubungan secara terbatas dengan negara asing, kecuali dengan Korea di Tsushima, Dinasti Qing di Kepulauan Ryukyu, dan Belanda di pos perdagangan Dejima.[8] Pada 1854, kedatangan Komodor Perry memaksa Jepun membuka pintu terhadap perdagangan dengan negara-negara asing. Dibukanya isolasi Jepun memicu pesatnya perkembangan perdagangan luar negeri dan westernisasi. Akibat perjanjian tidak adil yang dibuat Jepun dengan Komodor Perry, Keshogunan Tokugawa mendapat tantangan dari berbagai kalangan di dalam negeri. Gerakan radikal anti-Barat timbul dalam bentuk slogan sonnō jōi ("dukung Maharaja, usir orang barbar").[9]
Maharaja Kōmei setuju dengan sentimen anti-Barat, dan mulai berperan aktif dalam urusan negara. Bagaikan mendapat kesempatan untuk lepas dari keshogunan, Maharaja mengkritik keras berbagai perjanjian Jepun dengan dunia Barat dan ikut campur dalam urusan suksesi shogun. Usaha Maharaja Kōmei berpuncak dengan dikeluarkannya Dekrit Pengusiran Orang Barbar. Walaupun tidak berkeinginan melaksanakan dekrit tersebut, keshogunan menjadi sasaran kekerasan. Orang asing di Jepun juga menjadi sasaran kemarahan, termasuk insiden berdarah dengan berakhir dengan tewasnya pedagang Inggris bernama Charles Lennox Richardson. Kematian Richardson membuat keshogunan harus membayar ganti rugi sebesar 100 ribu poundsterling Inggris.[10] Insiden lainnya termasuk ditembakinya kapal-kapal asing di Shimonoseki.[11]
Sepanjang tahun 1864, kekuatan asing menanggapinya dengan pembalasan bersenjata, termasuk Bombardemen Kagoshima oleh tentara Inggris dan Bombardemen Shimonoseki oleh kekuatan multinasional. Pada bersamaan, tentara Domain Chōshū didukung ronin yang benci orang asing mengobarkan Pemberontakan Hamaguri untuk menguasai ibu kota empayar di Kyoto. Namun pemberontakan berhasil dipadamkan pasukan yang dikirim Tokugawa Yoshinobu. Ketika itu, sikap istana dan pemimpin Domain Chōshū mulai melunak. Walaupun demikian, tahun berikutnya Keshogunan Tokugawa tidak dapat mengendalikan para daimyo yang melawan pemerintah pusat di Edo.[12]
Bantuan militer asing
Walaupun Inggris sudah membombardir Kagoshima, Domain Satsuma tetap mendekati pihak Inggris, dan menerima bantuan untuk memodernisasi angkatan darat dan angkatan laut Domain Satsuma.[13] Pedagang senjata asal Skotlandia, Thomas Blake Glover menjual kapal perang dan senjata kepada pihak domain yang berada di Jepun selatan.[14] Penasihat militer Amerika dan Inggris yang umumnya terdiri dari mantan perwira, kemungkinan besar terlibat secara langsung dalam usaha militerisasi tersebut.[15] Duta Besar Inggris Harry Smith Parkes mendukung kekuatan antikeshogunan dalam usahanya untuk mendirikan kekuasaan Maharaja yang sah dan bersatu di Jepun, sekaligus menghentikan pengaruh Perancis di dalam keshogunan. Pada periode yang sama, pemimpin Jepun selatan seperti Saigō Takamori dari Satsuma, atau Itō Hirobumi dan Inoue Kaoru dari Chōshū menjalin hubungan pribadi dengan diplomat Inggris, khususnya Ernest Mason Satow.[16]
Pihak keshogunan juga bersiap menghadapi konflik bersenjata dengan memodernisasi kekuatan militer. Sejalan kebijakan duta besar Parkes, Inggris sebagai mitra militer utama, tidak mau memberi bantuan lebih lanjut kepada keshogunan.[17] Oleh kerana itu, kekuatan militer Tokugawa hanya mengandalkan penasihat militer dari Perancis. Keshogunan merasa puas atas prestise tentara Napoleon III yang telah berjaya di Perang Krimea dan Perang Kemerdekaan Italia II.[18] Keshogunan mengambil langkah-langkah penting menuju pembangunan militer yang modern dan kuat, termasuk angkatan laut yang berintikan delapan kapal perang bertenaga uap yang telah dibangun sejak beberapa tahun, dan menjadikan angkatan laut Jepun terkuat di Asia.[19] Pada 1865, Jepun membangun arsenal angkatan laut yang pertama di Yokosuka. Perancangnya adalah insinyur Perancis bernama Léonce Verny. Misi Militer Perancis untuk Jepun tiba di Jepun, Januari 1867 untuk melakukan reorganisasi tentara keshogunan dan membentuk pasukan elit. Jepun memesan kapal bekas Amerika Serikat, kapal perang berlambung besi buatan Perancis, CSS Stonewall[20] yang pernah dipakai dalam Perang Saudara Amerika. Amerika Serikat mulanya menolak untuk menyerahkan kapal CSS Stonewall kerana pihak Barat sudah menyatakan sikap netralnya. Pihak militer empayar berhasil memperoleh CSS Stonewall setelah sikap netral Barat dicabut. Kapal tersebut dipakai dalam pertempuran di Hakodate dengan nama Kōtetsu.[21]
Kudeta (1866–1868)
Setelah terjadi kudeta di Chōshū dan kekuasaan kembali ke tangan faksi radikal antikeshogunan, keshogunan mengumumkan niat untuk memulai ekspedisi menaklukkan Domain Chōshū yang dianggap membangkang. Ancaman ini berakibat pada dijalinnya aliansi rahasia antara Domain Chōshū dan Domain Satsuma. Pada akhir tahun 1866 terjadi perubahan besar dalam peta politik setelah wafatnya shogun Tokugawa Iemochi yang disusul mangkatnya Maharaja Kōmei. Sebagai pengganti, Tokugawa Yoshinobu diangkat sebagai shogun, dan Maharaja Meiji naik tahta. Perkembangan baru tersebut membuat "gencatan senjata tidak dapat dihindari."[22] Pada 9 November 1867, perintah rahasia dikeluarkan oleh Domain Satsuma dan Chōshū atas nama Maharaja Meiji untuk membunuh shogun Yoshinobu.[23] Atas usulan daimyo Tosa, Yoshinobu sudah lebih dulu mengundurkan diri dan mengembalikan kekuasaan kepada Maharaja, dan setuju dirinya dijadikan "sarana untuk melaksanakan" perintah Maharaja.[24] Peristiwa ini menandai berakhirnya Keshogunan Tokugawa.[25]
Walaupun Yoshinobu sudah mengundurkan diri dan jabatan tingkat atas dalam pemerintahan menjadi kosong, anak buahnya tetap menjalankan tugas seperti biasa. Pemerintah keshogunan, khususnya keluarga Tokugawa, tetap merupakan kekuatan utama dalam sistem politik, dan masih memegang kekuasaan eksekutif. [26] Keadaan ini tidak dapat ditolerir kalangan garis keras dari Satsuma dan Chōshū.[27] Peristiwa penting terjadi pada 3 Januari 1868 ketika faksi garis keras mengambil alih istana Maharaja di Kyoto. Pada hari berikutnya, Maharaja Meiji yang waktu itu berusia 15 tahun mengumumkan kembalinya kekuasaan di tangan Maharaja. Walaupun mayoritas dewan penasihat setuju dengan proklamasi resmi kekuasaan langsung di tangan istana, mereka cenderung mendukung kerja sama dengan keluarga Tokugawa di bawah konsep pemerintahan bersama. Saigō Takamori mengancam dewan agar menghapus jabatan shogun dan mengeluarkan perintah penyitaan tanah-tanah yang dimiliki Yoshinobu.[28]
Walaupun awalnya setuju dengan permintaan-permintaan tersebut, Yoshinobu menyatakan bahwa "dirinya tidak akan terikat oleh proklamasi tentang Restorasi dan meminta pengadilan untuk membatalkannya."[29] Pada 24 Januari, Yoshinobu menyatakan serangan terbuka atas Kyoto yang dikuasai tentara Satsuma dan Chōshū. Keputusan Yoshinobu dibalas dengan pembakaran bagian luar Istana Edo yang menjadi kediaman keluarga Tokugawa. Ronin asal Satsuma dituduhnya sebagai pelaku di balik peristiwa pembakaran kerana pada hari itu mereka juga menyerang kantor-kantor pemerintah. Keesokan harinya tentara keshogunan membalas dengan menyerang rumah kediaman daimyo Satsuma di Edo. Dalam rumah kediaman tersebut berlindung sejumlah besar musuh keshogunan yang atas perintah Takamori membuat kerusuhan di Edo. Rumah kediaman daimyo Satsuma di Edo dibakar habis. Musuh keshogunan banyak yang terbunuh atau dieksekusi.[30]
Awal konflik terbuka
Pada 27 Januari 1868 terjadi bentrokan antara pasukan keshogunan dan pasukan Chōshū di Toba dan Fushimi yang merupakan gerbang pintu masuk selatan ke Kyoto. Sebagian dari 15.000 tentara keshogunan dilatih oleh penasihat militer Perancis, namun sebagian besar di antaranya masih samurai tradisional. Pasukan Chōshū dan Satsuma kalah dalam jumlah dengan perbandingan 1 lawan 3, namun membawa senjata modern seperti howitzer merek Armstrong, senapan Minié, dan beberapa senapan Gatling. Setelah awal pertempuran tidak bisa menentukan pihak yang unggul,[32] panji-panji empayar pada hari kedua diserahkan ke pasukan pembela istana. Salah seorang saudara Maharaja yang bernama Ninnajinomiya Yoshiaki ditunjuk sebagai penjabat panglima tertinggi sehingga tentara Chōshū dan Satsuma secara resmi menjadi tentara empayar (kan-gun). [33] Selain itu, beberapa daimyo lokal yang hingga saat itu masih setia terhadap shogun mulai berada di pihak istana setelah dibujuk oleh para pejabat istana. Di antara daimyo yang membelot terdapat daimyo dari Domain Yodo (5 Februari), daimyo dari Domain Tsu (6 Februari). Hasilnya berupa kekuatan militer pihak istana menjadi lebih kuat.[34]
Pada 7 Februari, Tokugawa Yoshinobu melarikan diri dari Osaka setelah tersudut dengan adanya persetujuan istana atas tindakan pihak Domain Satsuma dan Chōshū. Yoshinobu mundur ke Edo menumpang kapal Kaiyō Maru. Demoralisasi pasukan akibat larinya Yoshinobu dan membelotnya pasukan Domain Yodo dan Domain Tsu membuat pihak keshogunan mundur. Pertempuran Toba-Fushimi dinyatakan sebagai kemenangan pihak empayar. Walaupun demikian, keunggulan pihak empayar sering diperdebatkan, sebagian di antara sejarawan menganggap pihak keshogunan justru lebih unggul.[35] Istana Osaka segera dikuasai pihak empayar pada 8 Februari (1 Mac menurut kalender Gregorian). Pertempuran Toba-Fushimi secara resmi berakhir.[36]
Pada 28 Januari 1868, pertempuran laut terjadi di Awa antara Angkatan Laut Keshogunan dan unsur-unsur Angkatan Laut Satsuma. Pertempuran Laut Awa merupakan pertempuran laut pertama yang memakai angkatan laut modern dalam sejarah Jepun.[37] Pertempuran Awa berakhir dengan keunggulan Angkatan Laut Keshogunan.
Di meja diplomasi berlangsung pertemuan antarmenteri negara-negara asing pada awal Februari 1868 di pelabuhan Hyōgo (sekarang disebut Kobe). Mereka membicarakan nasib keshogunan sebagai pemerintah yang sah di Jepun. Selain itu, mereka berharap Tokugawa Yoshinobu yang didukung pemerintah asing (khususnya Perancis) mau menerima campur tangan mereka. Beberapa hari kemudian, utusan dari empayar menemui para menteri dan menyatakan keshogunan sudah dibubarkan, pelabuhan-pelabuhan di Jepun terbuka sesuai perjanjian internasional, dan semua orang asing dilindungi. Para menteri akhirnya memutuskan untuk mengakui pemerintahan yang baru.[38]
Bangkitnya sentimen antiasing menimbulkan tindakan kekerasan terhadap orang asing pada bulan-bulan berikutnya. Sebelas pelaut Perancis dari korvet Dupleix tewas oleh samurai Domain Tosa dalam Peristiwa Sakai 8 Mac 1868. Lima belas hari kemudian, Duta Besar Inggris Sir Harry Parkes diserang sekelompok samurai di Kyoto.[39]
Pelarian ke utara
Mulai bulan Februari, Duta Besar Perancis Léon Roches membantu penyusunan rencana menghentikan laju pasukan empayar di Odawara yang merupakan gerbang masuk ke Edo. Rencana tersebut ditentang oleh Yoshinobu sehingga Léon Roches marah dan mengundurkan diri dari jabatannya. Pada awal Mac, di bawah usulan Harry Parkes seorang menteri Britania, negara-negara asing menandatangani perjanjian netralitas yang ketat. Negara-negara asing tidak dapat turut campur atau memberikan pasokan militer kepada pihak-pihak yang bertikai hingga konflik selesai.[40]
Saigō Takamori memimpin pasukan empayar di utara dan timur Jepun, dan menghancurkan kekuatan pasukan keshogunan di Pertempuran Kōshū-Katsunuma. Takamori akhirnya menyerah di Edo pada Mei 1868 setelah berunding tentang syarat-syarat penyerahan diri dengan Menteri Angkatan Darat Katsu Kaishu dari pihak keshogunan.[41] Sejumlah kelompok pengikutnya terus bertahan setelah Takamori menyerahkan diri, namun mereka dikalahkan dalam Pertempuran Ueno.
Sementara itu, panglima Angkatan Laut Keshogunan, Enomoto Takeaki menolak untuk menyerahkan semua kapal-kapalnya. Ia hanya menyerahkan empat buah kapal (di antaranya Fujisan) sebelum melarikan diri ke utara bersama armada Angkatan Laut Keshogunan. Sejumlah 2.000 perwira dan pelaut ikut melarikan diri bersama armada kapal perang yang terdiri dari Kaiten, Banryū, Chiyodagata, Chōgei, Kaiyō Maru, Kanrin Maru, Mikaho, dan Shinsoku. Mereka berencana untuk melakukan serangan balasan dibantu daimyo asal Jepun utara. Takeaki ditemani oleh sejumlah penasihat militer Perancis, terutama Jules Brunet yang secara formal mengundurkan diri dari Dinas Ketentaraan Perancis untuk bergabung dengan para pemberontak.[42]
Perlawanan Aliansi Utara
Setelah Shogun Yoshinobu menyerah,[43] seluruh wilayah Jepun menerima kekuasaan Maharaja, kecuali beberapa domain di Jepun Utara pendukung Puak Aizu yang tetap membangkang.[44] Pada bulan Mei, beberapa daimyo utara membentuk Aliansi Utara (Ouetsu Reppan Domei) yang berintikan kekuatan militer Domain Sendai, Domain Yonezawa, Domain Aizu, Domain Shonai, dan Domain Nagaoka. Aliansi Utara berkekuatan total sekitar 50.000 prajurit.[45] Pangeran Kitashirakawa Yoshihisa ikut melarikan diri ke utara bersama pendukung Keshogunan Tokugawa. Pangeran Yoshihisa ditunjuk sebagai Kepala Aliansi Utara dengan maksud mengangkatnya di kemudian hari sebagai "Maharaja Tobu".
Armada Enomoto bergabung di Pelabuhan Sendai pada 26 Agustus. Walaupun pasukan Aliansi Utara cukup banyak, mereka kurang peralatan dan masih bergantung pada teknik berperang tradisional. Sedikitnya peralatan modern memaksa mereka membuat meriam kayu yang diperkuat lilitan tali dengan batu sebagai proyektil. Meriam kayu hanya bisa menembak empat hingga lima kali sebelum pecah berantakan.[46] Daimyo dari Nagaoka beruntung bisa memperoleh dua dari tiga senapan Gatling yang ada di Jepun, dan 2.000 pucuk senapan Perancis dari pedagang senjata Jerman bernama Henry Schnell.
Pada bulan Mei 1868, pasukan daimyo Nagaoka menyebabkan kerugian besar bagi pasukan empayar dalam Pertempuran Hokuetsu, namun istana Nagaoka akhirnya jatuh pada 19 Mei 1868. Pasukan empayar terus maju ke utara, mengalahkan Shinsengumi di Pertempuran Puncak Bonari. Kekalahan Shinsengumi dan membuka jalan bagi pasukan empayar untuk menyerang kastil Aizu-Wakamatsu dalam Pertempuran Aizu pada bulan Oktober 1868, dan Sendai tidak dapat dipertahankan lagi.
Aliansi Utara tercerai-berai, dan armada Aliansi Utara melarikan diri ke Hokkaido pada 12 Oktober 1868. Dua kapal perang (Oe dan Hōō yang dipinjam Sendai dari keshogunan) ikut dibawa ke Hokkaido beserta tambahan 1.000 pasukan yang terdiri dari sisa-sisa tentara keshogunan di bawah pimpinan Otori Keisuke, pasukan Shinsengumi yang dipimpin Hijikata Toshizo, korps gerilya (yugekitai) pimpinan Hitomi Katsutarō, dan sejumlah penasihat militer Perancis (Fortant, Garde, Marlin, dan Bouffier) [42]
Pada 26 Oktober 1868, Edo berganti nama menjadi Tokyo, dan zaman Meiji secara resmi dimulai. Aizu sudah dalam keadaan terkepung sejak bulan Oktober, dan menyebabkan bunuh diri massal samurai muda usia yang bergabung dalam Byakkotai.[47] Setelah pertempuran berkepanjangan selama sebulan, Aizu jatuh pada 6 November 1868.
Perlawanan dari Hokkaido
Pembentukan Republik Ezo
Enomoto Takeaki melarikan diri ke Hokkaido bersama angkatan laut keshogunan dan sejumlah penasihat militer Perancis. Di Hokkaido, mereka memproklamasikan pemerintah negara Hokkaido yang merdeka. Secara resmi Republik Ezo didirikan pada 25 Desember 1868 dengan mengikuti Amerika Serikat sebagai model. Enomoto dilantik sebagai presiden berdasarkan suara mayoritas. Republik Ezo berusaha meyakinkan perwakilan negara-negara asing di Hakodate, seperti Amerika Serikat, Perancis, dan empayar Rusia, namun tidak ada pengakuan atau dukungan internasional. Enomoto mengajukan usul untuk memberikan wilayahnya kepada Keshogunan Tokugawa di bawah kekuasaan Maharaja, namun usulannya ditolak oleh Dewan Pemerintahan empayar.[48]
Sepanjang musim dingin, mereka memperkuat pertahanan di sekeliling semenanjung selatan Hakodate. Benteng baru di Goryokaku merupakan pusat pertahanan Republik Ezo. Pasukan berada di bawah komando Perancis-Jepun. Panglima Otori Keisuke dibantu oleh kapten Perancis bernama Jules Brunet. Tentara Republik Ezo terdiri dari 4 brigade, dan masing-masing brigade dipimpin oleh opsir Perancis: Fortant, Marlin, Cazeneuve, dan Bouffier.[49]
Perlawanan terakhir
Angkatan Laut empayar tiba di Pelabuhan Miyako pada 20 Mac 1869, namun kedatangan mereka sudah dinanti-nanti oleh tentara Republik Ezo. Para pemberontak menyusun strategi untuk merampas kapal tempur Jepun Kotetsu. Di bawah pimpinan komandan Shinsengumi bernama Hijikata Toshizo, tiga kapal perang dikirim untuk melakukan serangan mendadak. Peristiwa ini disebut Pertempuran Laut Miyako yang berakhir dengan kegagalan pihak pemberontak. Cuaca buruk, kerusakan mesin, dan penggunaan senapan Gatling oleh pasukan empayar sangat menyulitkan pihak penyerang yang terdiri dari para samurai.[50]
Pihak empayar pada bulan April 1869 mengirimkan armada angkatan laut dan 7000 prajurit infanteri ke Ezo, dan memulai Pertempuran Hakodate. Pasukan empayar maju dengan lancar dan memenangi Pertempuran Laut Teluk Hakodate. Pertempuran laut di Teluk Hakodate merupakan pertempuran laut pertama dalam skala besar di Jepun yang melibatkan angkatan laut modern. Benteng di Goryokaku yang dipertahankan hanya oleh 800 prajurit dalam keadaan terkepung. Setelah situasi makin memburuk, para penasihat militer Perancis melarikan diri dengan kapal Coëtlogon yang telah siap sedia di Teluk Hakodate. Di bawah komando Dupetit-Thouars, mereka pulang ke Perancis setelah sebelumnya singgah di Yokohama. Pemerintah Jepun meminta penasihat militer Perancis untuk diadili di Perancis. Namun ternyata jasa-jasa mereka diakui di Perancis sehingga mereka bebas dari hukum.
Enomoto berniat untuk bertempur hingga mati. Barang-barang berharga diberikannya kepada musuh untuk disimpan.[51] namun Otori berhasil meyakinkan Enomoto untuk menyerah. Menurut Otori, tetap hidup dalam kekalahan adalah cara yang paling berani, "Kalau mau mati, kamu kapan saja bisa."[52] Enomoto menyerah pada tanggal 18 Mei 1869, dan mengakui kekuasaan Maharaja Meiji. Republik Ezo berakhir pada 27 Juni 1869.
Seusai perang
Kediaman Maharaja dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo pada akhir 1868. Sistem prefektur menggantikan sistem domain pada tahun 1871. Prefektur dipimpin oleh gubernur yang diangkat oleh Maharaja.[53] Kelas samurai dihapus dan para mantan samurai dipekerjakan sebagai pegawai administrasi atau pengusaha, namun sebagian di antaranya menjadi orang miskin.[54] Pejabat dari Domain Satsuma, Chōshū, dan Tosa diberi kedudukan tinggi dalam pemerintahan kerana dianggap berjasa. Mereka menjadi bagian dari kelas penguasa baru yang disebut oligarki Meiji dan diformalisasikan dalam bentuk genrō.[55]
Sejumlah pendukung mantan shogun dipenjara, namun tidak dihukum mati. Pemberian grasi kepada mereka merupakan hasil dari kerja keras Saigō Takamori dan Iwakura Tomomi, serta saran Harry Smith Parkes. Menurut Ernest Satow, Parkes berkata kepada Saigō, "soal kerasnya tindakan terhadap Keiki Yoshinobu dan pendukungnya, khususnya dalam cara hukuman, dapat merugikan reputasi pemerintah baru dalam opini negara-negara Eropa."[56] Setelah dua hingga tiga tahun dipenjara, sebagian dari mereka diundang untuk bekerja dalam pemerintahan yang baru. Beberapa di antaranya menjadi pejabat tinggi. Enomoto Takeaki misalnya, di kumudian hari bertugas sebagai duta Jepun untuk Rusia dan Cina, serta menteri pendidikan[57]
Pihak empayar tidak jadi mengusir orang asing dari Jepun, melainan beralih ke modernisasi negeri dan melakukan negosiasi ulang perjanjian tidak adil dengan kekuatan asing. Perubahan kebijakan terhadap orang asing terjadi pada awal Perang Boshin. Pada 8 April 1868, papan-papan pengumuman baru dipasang di Kyoto (dan kemudian di seluruh negeri) yang secara khusus melarang kekerasan terhadap orang asing.[58] Semasa Perang Boshin, Maharaja Meiji secara pribadi menerima delegasi dari Europa, pertama di Kyoto, dan kemudian di Osaka dan Tokyo.[59] Maharaja Meiji juga secara tidak diduga-duga di Tokyo menerima kunjungan Alfred, Duke dari Edinburgh.[60]
Pada zaman Meiji, selain dengan Perancis, hubungan luar negeri Jepun dengan negara-negara asing mulai membaik. Misi militer kedua Perancis diundang ke Jepun pada tahun 1873, dan misi militer ketiga pada tahun 1884. Hubungan tingkat tinggi dengan Perancis pulih pada tahun 1886 ditandai dengan ikut sertanya insinyur angkatan laut Louis-Émile Bertin dalam membangun armada Angkatan Laut empayar Jepun.[61]
Setelah bertahta, Maharaja Meiji mengeluarkan Sumpah Tertulis Lima Pasal yang isinya berupa seruan pembentukan dewan musyawarah, kesempatan untuk berusaha bagi rakyat, penghapusan semua kebijakan lama yang buruk, dan mencari ilmu hingga ke ujung dunia untuk memperkuat kekuasaan Maharaja.[62] Pembaruan selama reformasi Meiji berpuncak dengan dikeluarkannya Konstitusi Meiji pada tahun 1889. Walaupun sudah diberi kemudahan oleh istana, sebagian dari mantan samurai menganggap reformasi Meiji hanya merugikan kepentingan mereka, termasuk akibat dibentuknya tentara dari prajurit orang biasa, kehilangan prestise yang sudah turun-temurun, dan penghasilan.[63] Ketidakpuasan mantan samurai berpuncak pada Pemberontakan Saga 1874 dan pemberontakan Chōshū tahun 1876. Mantan samurai Satsuma di bawah pimpinan Saigō Takamori memulai Pemberontakan Satsuma pada tahun 1877. Sebelumnya Saigō mundur dari pemerintahan akibat perbedaan pendapat. Pemberontakan Satsuma menuntut dikembalikannya kelas samurai dan pemerintahan yang lebih bermoral. Slogan mereka, "pemerintah baru, moral tinggi" (新政厚徳 , shinsei kōtoku). Pemberontakan Satsuma berakhir dengan kekalahan total pihak pemberontak dalam Pertempuran Shiroyama.[64]
Dramatisasi
Restorasi Meiji sering disebut-sebut sebagai "revolusi tidak berdarah" yang mengawali modernisasi Jepun. Walaupun demikian, sekitar 120.000 prajurit terlibat dalam Perang Boshin, dan 3.500 prajurit tewas.[66] Perang ini dikemudian hari cenderung didramatisasi, pihak keshogunan berperang dengan senjata tradisional melawan pihak empayar yang bersenjata modern. Walaupun senjata tradisional dan senjata modern digunakan secara bersama-sama, kedua belah pihak sebenarnya menggunakan teknik berperang dan senjata termodern pada zamannya, termasuk kapal perang berlambung besi, senapan Gatling, dan teknik berperang yang diajarkan penasihat militer dari Barat.
Di antara dramatisasi Perang Boshin terdapat novel 4 jilid karya Jirō Asada, Mibu Gishi-den. Sutradara Yojiro Takita mengangkat karya Asada menjadi sebuah film berjudul When the Last Sword Is Drawn. Novel yang sama diangkat menjadi jidaigeki yang dibintangi Ken Watanabe. Pada tahun 2001 kembali dibuat jidaigeki mengenai pemberontakan di Hokkaido dengan judul Goryokaku. Sebagian dari serial anime Bakumatsu Kikansetsu Irohanihoheto mendramatisasi Perang Boshin, sementara cerita Rurouni Kenshin terjadi 10 tahun sesudah Perang Boshin. Film Hollywood The Last Samurai yang diproduksi tahun 2003 menggambarkan Perang Boshin dan Pemberontakan Satsuma.
Catatan kaki
- ^ Cortazzi (1985)
- ^ Banno, p. 39.
- ^ Banno, p. 48.
- ^ Banno, p. 42.
- ^ Huffman (1997).
- ^ Boshin (戊辰 ) adalah tahun ke-5 siklus enampuluh tahunan dalam kalender Asia Timur.
- ^ Ralat petik: Tag
<ref>
tidak sah; tiada teks disediakan bagi rujukan yang bernamaEstimate
- ^ Berkat interaksi dengan orang Belanda, studi ilmu-ilmu Barat yang disebut rangaku berkembang di Jepun, dan nantinya meletakkan dasar revolusi industri dan ilmu pengetahuan. Lihat Jansen (hlm. 210–15), menceritakan masa keemasaan rangaku pada zaman Edo, dan (hlm. 346) diceritakan tentang persaingan antara cendikiawan rangaku dan pakar luar negeri pada awal zaman Meiji. Lihat pula: "The technology of Edo" (見て楽しむ江戸のテクノロジー ), 2006, ISBN 4-410-13886-3 (Japanese) dan "The intellectual world of Edo" (江戸の思想空間 ) Timon Screech, 1998, ISBN 4-7917-5690-8 (dalam bahasa Jepun).
- ^ Hagiwara, p. 34.
- ^ Jansen, pp. 314–5.
- ^ Hagiwara, p. 35.
- ^ Jansen, pp. 303–5.
- ^ Hagiwara, pp. 34–5
- ^ Hingga awal 1865, Thomas Blake Glover menjual 7.500 pucuk senapan Minié ke pihak Domain Chōshū, sehingga tentara Chōshū menjadi modern. Beberapa bulan kemudian, Nakaoka Shintaro berkomentar, "kekuatan militer pihak daimyo dari selatan sudah diperbarui sama sekali; hanya ada resimen senapan dan meriam, dan senapan semuanya senapan Minie, meriam semuanya cukup dengan amunisi. (Brown)
- ^ Klaim yang dibuat by Jules Brunet dalam surat ke Napoleon III: "Aku harus memberi info kepada Maharaja mengenai sejumlah perwira Amerika dan Inggris, sudah pensiun atau sedang cuti, yang berada di pihak daimyo dari selatan dan merupakan ancaman bagi kepentingan Perancis. Kehadiran pemimpin Barat di antara musuh-musuh kita bisa mengacaukan kesuksesanku dilihat dari sudut pandang politik, namun tiada seorang pun yang dapat menghentikan laporanku tentang perang ini kepada Yang Mulia yang tanpa ragu akan menilainya sebagai penting." Kutipan asli (bahasa Perancis): "Je dois signaler à l'Empereur la présence de nombreux officers américains et anglais, hors cadre et en congé, dans ce parti hostile aux intérêts français. La présence de ces chefs occidentaux chez nos adversaires peut m'empêcher peut-être de réussir au point de vue politique, mais nul ne pourra m'empêcher de rapporter de cette campagne des renseignements que Votre Majesté trouvera sans doute intéressants." Polak, p. 81. Sebagai contoh, Letnan Horse dari Inggris diketahui sebagai instruktur meriam Domain Saga semasa periode Bakumatsu ("Togo Heiachiro", 17)
- ^ Pertemuan ini diceritakan dalam buku Satow terbitan 1869 A Diplomat in Japan, ia menceritakan Saigō sebagai laki-laki dengan "mata bersinar bagaikan berlian hitam yang besar."
- ^ Misalnya permohonan yang diajukan keshogunan kepada Sir Rutherford Alcock pada tahun 1864 ditolak. Ketika itu keshogunan meminta penasihat militer untuk dikirim membantu 1.500 tentara yang bermarkas di Yokohama. Takenaka Shibata mengunjungi Kerajaan Bersatu dan Perancis pada September 1865 untuk meminta bantuan, tapi hanya ditanggapi Perancis.
- ^ Setelah mengikat kesepakatan dengan Perancis, duta besar Perancis untuk Jepun, Leon Roches menjaga agar pihak Inggris tidak teralienasi, dan mengatur pertemuan Shogun dengan utusan angkatan laut Inggris yang tiba di Jepun beberapa waktu setelah kedatangan utusan militer Perancis pada tahun 1867. Polak, p. 53–5
- ^ Informasi lebih terinci mengenai angkatan laut keshogunan tersedia di situs ini Diarkibkan 2006-09-23 di Wayback Machine (bahasa Jepun)
- ^ Naval Historical Center [1]
- ^ Keene, p. 165–6.
- ^ Jansen, p. 307.
- ^ Perintah rahasia ini diragukan keasliannya kerana bahasa yang kasar, dan tidak ada tanda tangan Maharaja Meiji. Keene, pp. 115–6.
- ^ Satow, p. 282.
- ^ Keene, p. 116. Lihat pula Jansen, pp. 310–1.
- ^ Keene, pp. 120–1, and Satow, p. 283. dan Satow (p. 285) berspekulasi Yoshinobu setuju untuk membentuk dewan daimyo dengan harapan nantinya dewan tersebut akan mengembalikan kekuasan shogun.
- ^ Satow, p. 286.
- ^ Semasa reses, Saigō yang dikawal pasukannya di luar, berkata "kalau ada sebuah pedang pendek, masalah bisa diselesaikan dengan mudah." (Keene, p. 122). Kutipan asli (Jepun): "短刀一本あればかたづくことだ. " dalam Hagiwara, p. 42. Kata yang dipakai untuk pedang pendek adalah tantō.
- ^ Keene, p. 124.
- ^ Keene, p. 125.
- ^ "Saigo Takamori dan Okubo Toshimichi", p. 63
- ^ Walaupun sangat antusias di awal pertempuran, Saigō sudah berencana untuk mengungsikan Maharaja dari Kyoto bila situasi makin memburuk. Keene, pp. 125–6.
- ^ Panji-panji berwarna merah dan putih merupakan hasil ide, dan didesain oleh tokoh-tokoh seperti Okubo Toshimichi dan Iwakura Tomomi. Sebenarnya, panji-panji tersebut palsu, begitu pula perintah Maharaja untuk dipakainya panji-panji empayar oleh pasukan pembela istana. Pangeran Yoshiaki juga menerima pedang istimewa dan ditunjuk sebagai "jenderal besar, penakluk timur". Sebaliknya, kekuatan keshogunan yang menjadi musuh Yoshiaki disebut sebagai "musuh istana". Keene, pp. 126–7.
- ^ Keterangan lebih terinci mengenai pertempuran dibahas dalam buku Hagiwara, p. 42.
- ^ "Secara militer, pihak Tokugawa jauh lebih unggul. Mereka memiliki serdadu yang jumlahnya 3 hingga 5 kali lipat, dan menjadikan Istana Osaka sebagai markas. Mereka mengandalkan pasukan dari Edo yang memakai senjata modern dari Perancis, dan mereka memiliki armada kapal terkuat di Asia Timur siap sedia di Teluk Osaka. Menurut perhitungan di atas kertas, pihak keMaharajan pasti kalah. Begitu pula Saigō Takamori, ia sudah tahu akan kalah dan sudah menyiapkan pengungsian Maharaja ke Pegunungan Chūgoku dan sudah siap-siap untuk perang gerilya." Hagiwara, p. 43.
- ^ Hagiwara, p. 43–5.
- ^ "Togo Heihachiro in images, illustrated Meiji Navy"
- ^ Polak, p. 75.
- ^ Le Monde Illustré, No. 583, 13 Juni 1868.
- ^ Polak, p. 77.
- ^ Hagiwara, p. 46
- ^ a b Polak, p. 81.
- ^ Tokugawa Yoshinobu dikenakan tahanan rumah, dicopot dari segala jabatan dan kekuasaan, serta tanah miliknya disita. Ia kemudian dibebaskan setelah menyatakan tidak lagi berminat dan tidak berambisi dalam soal negara. Ia mengundurkan diri ke Prefektur Shizuoka, ke tempat Tokugawa Ieyasu leluhurnya pensiun.
- ^ Bolitho, p. 246; Black, p. 214.
- ^ Polak, pp. 79–91. Selain domain inti, domain-domain yang lebih kecil di utara juga bergabung dengan aliansi.
- ^ Meriam kayu peninggalan perang bisa dilihat di Museum Kota Sendai
- ^ Catatan tentang perlawanan Byakkotai bisa dibaca di [2] Diarkibkan 2007-02-06 di Wayback Machine (bahasa Inggris)
- ^ Black, pp. 240–241
- ^ Polak, pp. 85–9.
- ^ Collache berada di atas salah satu kapal yang ikut dalam serangan. Ia harus menenggelamkan kapalnya dan lari ke darat sebelum menyerah bersama rekan-rekan dan ditransfer ke Tokyo. Ia akhirnya tiba kembali di Perancis dengan selamat dan berkisah dalam buku Une aventure au Japon.
- ^ Termasuk di antaranya Buku Hukum Angkatan Laut yang didapatnya di Belanda, dan diberikannya kepada Jenderal Kuroda Kiyotaka dari pihak empayar,
- ^ Polak et al.
- ^ Sebagian besar daimyo diangkat sebagai gubernur, dan selanjutnya diberi gelar kebangsawanan kazoku serta uang pensiun yang besar. Dari sejumlah 300 domain dikurangi hingga menjadi 50 prefektur. Jansen, pp. 348–9.
- ^ Sebagian besar pembedaan antara samurai dan rakyat biasa dihapus, gaji dalam standar beras yang dulunya dibayarkan kepada samurai diganti dengan uang.(Gordon pp. 64–65).
- ^ Saigō Takamori, Okubo Toshimichi, dan Tōgō Heihachirō berasal dari Satsuma. Togo Heihachiro in images: Illustrated Meiji Navy
- ^ Dikutip oleh Keene, 143.
- ^ dalam Polak et al. Lihat pula, Keene.
- ^ Keene, p. 142.
- ^ Keene, pp. 143–4, 165.
- ^ Parkes, dikutip oleh Keene, p. 183-7.s
- ^ Dalam buku Evans and Peattie.
- ^ Jansen, p. 338. Lihat Jansen, pp. 337-43 untuk perkembangan politik selama perang berlangsung. Lihat Keene, 138–42, untuk lebih lanjut mengenai Charter Oath.
- ^ Jansen, 367–8.
- ^ Hagiwara, pp. 94–120. Saigō terus menunjukkan kesetiaannya terhadap Maharaja Meiji, dan memakai seragam tentara empayar selama konflik berlangsung. Jansen, 9p. 369–70.
- ^ Pemimpin pasukan keshogunan, dari kanan ke kiri: Enomoto (Kinjiro) Takeaki, Otori Keisuke, dan Matsudaira Taro. Samurai berbaju kuning adalah Hijikata Toshizo.
- ^ Hagiwara, p. 50.
Rujukan
- Bolitho, Harold (1974). Treasures among Men: The Fudai Daimyo in Tokugawa Japan. New Haven: Yale University Press.
- Black, John R. (1881). Young Japan: Yokohama and Yedo, Vol. II. London: Trubner & Co.
- Brown, Sidney DeVere (1994). "Nagasaki in the Meiji Restoration: Choshu loyalists and British arms merchants". Dicapai pada 28 April 2007.
- Collache, Eugène. "Une aventure au Japon" Le Tour du Monde, No. 77, 1874
- Evans, David (1997). Kaigun: Strategy, Tactics, and Technology in the Imperial Japanese Navy, 1887–1941. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press. ISBN 0-87021-192-7. Unknown parameter
|coauthors=
ignored (|author=
suggested) (bantuan) - Gordon, Andrew (2003). A Modern History of Japan. New York: Oxford. ISBN 0-19-511060-9.
- Hagiwara, Kōichi (2004). 図説 西郷隆盛と大久保利通 (Illustrated life of Saigō Takamori and Okubo Toshimichi) ISBN 4-309-76041-4, 2004 (bahasa Jepun)
- Jansen, Marius B. (2002). The Making of Modern Japan. Harvard. ISBN 0-674-00991-6.
- Keene, Donald (2005). Emperor of Japan: Meiji and His World, 1852–1912. Columbia. ISBN 0-231-12340-X.
- Le Monde Illustré, No. 583, June 13th, 1868
- Polak, Christian (2002). 日仏交流の黄金期 [Soie et Lumière, L'Âge d'or des échanges Franco-Japonais] Error: {{Lang}}: teks mempunyai penanda italik (bantuan) (bahasa Jepun dan Perancis). Hachette Fujingaho.
- Polak, Christian, et al. (1988). 函館の幕末・維新 "End of the Bakufu and Restoration in Hakodate." ISBN 4-12-001699-4 (bahasa Jepun).
- Satow, Ernest (1968) [1921]. A Diplomat in Japan. Tokyo: Oxford.
- Tōgō Shrine and Tōgō Association (東郷神社・東郷会 ), Togo Heihachiro in Images: Illustrated Meiji Navy (図説東郷平八郎、目で見る明治の海軍 ) (bahasa Jepun)
Bacaan selanjutnya
- Jansen, Marius B. (1999). The Cambridge History of Japan Volume 5: The Nineteenth Century, Chapter 5, "The Meiji Restoration". Cambridge. ISBN 0-521-65728-8.
- Ravina, Mark (2005). The Last Samurai: The Life and Battles of Saigō Takamori. Wiley. ISBN 0-471-70537-3.
Pautan luar
- (Jepun) Pertempuran Ezo Diarkibkan 2007-03-04 di Wayback Machine
- (Inggeris) Boshinshoyo Kinki oyobi Gunki Shinzu, reproduksi bendera selama Perang Boshin (1868) Diarkibkan 2008-04-03 di Wayback Machine (Arsip Nasional Jepun)
Ralat petik: Tag <ref>
wujud untuk kumpulan bernama "lower-alpha", tetapi tiada tag <references group="lower-alpha"/>
yang berpadanan disertakan