Kawasan ramai penduduk | |
---|---|
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan. | |
Bahasa | |
Hokkien, Hakka, Teochew, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang lain. | |
Agama | |
Buddha 49%, Kristian Protestan 25%, Kristian Katholik 18%, Islam 5%, dan Konfusianisme 3%. | |
Kumpulan etnik berkaitan | |
Kaum majoriti suku Han dan kaum minoriti suku Hui di China. |
Cina Indonesia atau [3]Tionghoa Indonesia ialah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Selepas pembentukan negara Indonesia, maka suku bangsa Tiongkok (biasa disebut Tionghoa) yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara automatik ke dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiada pembedaan antara bumiputera dan non-bumiputera, pemerintah Indonesia menundukkan seluruh suku bangsa yang telah ada di Indonesia agar mendapatkan hak setingkat dan setaraf sebagai warga negara Indonesia.
Orang-orang Tionghoa Indonesia merupakan keturunan yang berhijrah dari China secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun dahulu. Catatan-catatan kesusasteraan Cina menyatakan bahawa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang mahupun manusia dari China ke Nusantara dan sebaliknya.
Masyarakat Tionghoa Indonesia seringnya merujuk kepada diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Teochew), atau Thongnyin (Hakka), sedangkan dalam bahasa Mandarin disebut Hanren (Hanzi: 汉人, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahawa kebanyakan Tionghoa Indonesia berasal dari China Selatan yang menyebut diri mereka sebagai "orang Tang", manakala orang-orang China Utara menyebut diri mereka sebagai "orang Han" (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).
Kronologi sejarah
Bangsa Cina telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan tertua berkenaan dengan ini telah ditulis oleh para agamawan, termasuk Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutamanya I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskrit lebih dahulu. Di Jawa, beliau belajar bahasa Sanskrit daripada seorang yang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para penghijrah Cina pun mulai berdatangan. Epigraf-epigraf dari Jawa menyatakan bahawa orang-orang Cina disebut-sebut sebagai penduduk asing yang menetap di samping suku-suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan subbenua India. Dalam epigraf-epigraf ini, orang-orang Tionghoa disebut sebagai orang Cina dan sering kali jika disebut, dikaitkan dengan Juru Cina, iaitu ketua orang-orang Cina.
Asal kata
Orang-orang Cina di Indonesia dipanggil "Tionghoa", sepatah istilah yang dicipta sendiri oleh orang-orang yang berasal dari China di Indonesia. Istilah Tionghoa lebih sering dipakai karena kata "cina" dianggap kasar dan rasis.[perlu rujukan] Istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" lahir daripada sebutan Melayu (Indonesia) dan Hokkien, jadi secara linguistik "Tionghoa" dan "Tiongkok" memang tidak dikenali (disebut atau didengar) di luar masyarakat Indonesia. Oleh sebab "Tionghoa" adalah istilah bahasa Indonesia yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand.
Wacana orang Cina untuk membebaskan diri daripada kekuasaan Dinasti Qing supaya dapat membentuk sebuah negara yang lebih demokratik dan kuat telah dimulakan sejak dari tahun 1880 lagi. Wacana ini sampai terdengar oleh orang-orang yang berasal dari China yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamai "Orang Cina", suatu panggilan yang diduga berasal daripada kosa kata "Ching", iaitu Dinasti Ching yang berkuasa. Orang-orang asal China ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda berasa perlu mempelajari kebudayaan mereka, termasuk juga bahasanya. Oleh itu, sekelompok orang Cina di Hindia Belanda mendirikan sebuah sekolah pada tahun 1900 di bawah naungan sebuah badan yang dinamai "Tjung Hwa Hwei Kwan" yang kalau disebut dalam bahasa Indonesia menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). Dalam pengendaliannya, THHK bukan sahaja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan China tetapi juga memupuk rasa penyatuan di kalangan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.
Jumlah penduduk Tiongkok di Indonesia
Tidak adanya data rasmi tentang jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia yang dikeluarkan oleh kerajaan sejak kemerdekaan Indonesia. Namun anggaran kasar yang dipercayai sehingga sekarang ini adalah bahawa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% daripada seluruh penduduk Indonesia.
Dalam sebuah banci yang diadakan pada tahun 2000, ketika responden banci ditanyakan tentang asal suku mereka, hanya 1% daripada jumlah penduduk Indonesia mengaku diri sebagai orang Tionghoa.
Daerah asal di China
Kebanyakan orang Cina di Indonesia berasal dari bahagian tenggara China, khususnya suku-suku seperti yang berikut:
- Hakka
- Hainan
- Hokkien
- Kantonis
- Hockchia
- Teochew.
Daerah-daerah asal yang tertumpu pada pesisir tenggara China dapat difahami kerana sejak dari zaman Dinasti Tang, bandar-bandar pelabuhan di pesisir tenggara China memang telah menjadi bandar-bandar perdagangan yang besar, dengan Quanzhou tercatat sebagai bandar pelabuhan yang terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Pertumbuhan perdagangan saling di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Cina berasa perlu keluar belayar untuk berdagang. Destinasi utama mereka ketika itu ialah Asia Tenggara dan oleh kerana pelayaran amat bergantung kepada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Cina akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan mengahwini wanita setempat dan ada pula yang pulang ke China untuk terus berdagang.
Daerah tumpuan di Indonesia
Sebahagian besar daripada orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain yang juga ditetap mereka dalam jumlah yang besar selain daripada daerah perbandaran ialah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin serta beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Utara.
Terdapat juga pola penghunian yang berlainan dari segi kawasan penempatan di kalangan orang-orang Tionghoa yang bertuturan loghat-loghat Tionghoa yang berbeza:
- Hakka - Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon, dan Jayapura
- Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Manado
- Hokkien - Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutamanya di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, Maluku (terutamanya di Ambon dan Saumlaki[4]).
- Kantonis - Jakarta, Makassar, dan Manado.
- Hockchiu - Jawa (terutamanya di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, dan Surabaya).
- Teochew - Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Peranan politik Tionghoa
Pra-kemerdekaan
Dalam sejarah Indonesia, kelompok etnik Tionghoa telah beberapa kali menjadi sasaran pembunuhan beramai-ramai atau penjarahan, antaranya:
- pembunuhan di Batavia pada tahun 1740;
- pembunuhan pada masa Perang Jawa antara tahun-tahun 1825-1930;
- pembunuhan beramai-ramai di Jawa pada tahun-tahun 1946-1948;
- peristiwa ras pada 10 Mei 1963 dan 5 Ogos 1973;
- Malari pada 1974; dan
- Rusuhan Mei 1998.
Pembunuhan etnik Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 [5] [6] [7] melahirkan gerakan-gerakan penentangan daripada kelompok etnik Tionghoa yang bergiat di beberapa kota di Jawa Tengah, dibantu pula oleh kelompok etnik Jawa. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perpecahan kerajaan Mataram II.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas daripada perkembangan yang terjadi dalam komuniti Tionghoa. Pada 17 Mac 1900, terbentuklah di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah sebanyak 54 buah pada tahun 1908 sehingga 450 buah sekolah menjelang tahun 1934. Inisiatif ini diikuti oleh kelompok-kelompok etnik yang lain, umpamanya kelompok etnik Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada kali ini, perkembangan tersebut menyedarkan golongan bangsawan Jawa tentang pentingnya pendidikan kepada generasi-generasi masa hadapan sehingga terbentuklah Budi Utomo.
Pada tahun 1909, Sarekat Dagang Islamiyah diasaskan oleh RA Tirtoadisuryo di Buitenzorg (Bogor), mengikuti model Siang Hwee (dewan perdagangan orang Tionghoa) yang dibentuk pada tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas daripada pengaruh hubungannya yang dijalin lebih dahulu dengan kelompok etnik Tionghoa. Haji Samanhudi, pengasas Sarekat Islam, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, pertubuhan tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Beliau kemudian juga membentuk Rekso Rumekso, iaitu Kong Sing orang Jawa.
Pemerintah jajahan Belanda semakin khuatir apabila Sun Yat Sen mengisytiharkan Republik China pada Januari 1912. Pertubuhan Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial budaya mulai menuju ke bidang politik. Tujuan pertubuhan tersebut adalah untuk menghapuskan diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, undang-undang, status kerakyatan, beban cukai, serta sekatan bergerak dan tempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etika, pemerintah jajahan berusaha untuk memajukan pendidikan, namun warganegara Tionghoa tidak dimasukkan dalam program tersebut pada hal mereka membayar cukai ganda (cukai hasil dan cukai harta). Cukai hasil dikenakan pada semua warganegara pribumi yang bukan petani, manakala cukai harta (rumah, kuda, kereta, kenderaan bermotor dan peralatan rumah) dikenakan hanya pada orang Eropah dan orang Timur asing (termasuk kelompok etnik Tionghoa). Sekatan bergerak dikenakan pada warganegara Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembunuhan kelompok etnik Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibenarkan bermukim secara bebas, dengan aturan Wijkenstelsel menubuhkan pecinan, iaitu pemukiman etnik Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Sasaran pemerintah jajahan untuk mencegah interaksi antara pribumi dengan kelompok etnik Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata bertujuan untuk menumpukan kegiatan-kegiatan ekonomi orang Tionghoa di kawasan-kawasan bandar. Ketika ekonomi dunia beralih ke sektor perindustrian, orang-orang Tionghoalah yang paling bersedia, dengan pengkhususan mereka dalam perusahaan makanan dan minuman, jamu, alatan rumah, bahan pembinaan, kilang, batik, kretek, serta pengangkutan.
Sebenarnya pada zaman jajahan, kelompok etnik Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik secara persendirian mahupun bersama kelompok-kelompok etnik yang lain, untuk melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama kelompok etnik Jawa, kelompok ini berperang melawan Syarikat Hindia Timur Belanda pada tahun-tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komuniti Tionghoa yang bergabung dengan "Republik" Lanfong juga berperang dengan pasukan Belanda pada abad ke-19. Golongan Tionghoa turut membantu mengasaskan Sumpah Pemuda, dengan Sie Kong Liong membina bangunan Sumpah Pemuda, dan beberapa orang daripada kelompok Tionghoa duduk dalam jawatankuasanya, antaranya Kwee Tiam Hong dan tiga orang pemuda Tionghoa yang lain.
Beberapa orang kapitan Tionghoa yang dilantik oleh Belanda sebagai pemimpin komuniti ternyata juga telah berjasa kepada masyarakat Indonesia. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membina terusan di Batavia manakala Kapitan Tionghoa Tan Djin Sing menjadi Bupati Yogyakarta.
Akhbar Sin Po, akhbar Melayu Tionghoa, juga banyak memberikan sumbangan dalam penyebaran maklumat yang bersifat nasionalisme. Lagu Indonesia Raya yang digubah oleh W.R. Supratman buat pertama kali diterbitkan oleh akhbar Sin Po. Sebelumnya pada dekad 1920-an, akhbar Sin Po memelopori penggunaan bahasa bumiputera Indonesia sebagai pengganti untuk bahasa Belanda inlander bagi semua terbitannya, dengan langkah ini kemudian diikuti oleh banyak akhbar yang lain. Sebagai balas budi, semua akhbar tempatan kemudian menggantikan istilah "Tjina" dengan istilah "Tionghoa". Pada tahun 1931, Liem Koen Hian menubuhkan sebuah parti politik yang digelar Parti Tionghoa Indonesia (PTI) dan bukan Parti Tjina Indonesia.
Semasa pemberontakan pada pertengahan dekad 1940-an, Datuk Bandar John Lie menyeludupkan barang-barang ke Singapura untuk membiayai perjuangan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong pada 16 Ogos 1945 dikosongkan oleh Tentara Pembela Tanah Air (Peta) agar dapat digunakan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta untuk beristirahat setelah disingkirkan dari Jakarta. Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, iaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian mengekalkan statusnya sebagai warganegara asing, walaupun beliau turut merancang UUD 1945. Sebenarnya dalam perjuangan jasmaniah, banyak pahlawan daripada kelompok etnik Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak terdapat banyak yang dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah salah seorang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye, Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Sejarah politik diskriminasi terhadap kelompok etnik Tionghoa terus berlangsung pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, dengan Orde Lama mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang warganegara Tionghoa daripada berniaga secara runcit di kawasan luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini mengakibatkan sekatan yang luas terhadap pengedaran barang-barang dan pada akhirnya, sekatan tersebut terkena pada batang hidung sendiri dan menjadi salah satu sebab untuk kemerosotan ekonomi Indonesia menjelang tahun 1965.
Pada sepanjang tempoh Orde Baru, terdapat juga peruntukan untuk Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, lebih popular disebut SBKRI, yang terutamanya ditujukan kepada kelompok etnik Tionghoa warganegara Indonesia berserta keturunan-keturunannya. SBKRI adalah kad pengenalan yang menyatakan bahawa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat pentadbiran, SBKRI terutamanya hanya diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya, pengamalan SBKRI sama ertinya dengan usaha untuk menempatkan para warganegara Tionghoa pada status "masih dipertanyakan" di sisi undang-undang kewarganegaraan Indonesia.
Peranan Negara Dalam Pemulihan Status Kaum Tionghoa
Status dan hak orang Cina di Indonesia perlahan- lahan dipulihkan oleh undang-undang negeri, manakala negara tetap melarang pemakaian aksara cina dan bahasa mandarin dalam kegunaan awam bagi kaum cina dengan maksud asimilasi dan mengelakkan pengasingan kaum dalam bingkai kesatuan Bangsa Indonesia yang berakar dari semangat Sumpah Pemuda 1928.[8] Walaupun aksara Cina dan Bahasa Mandarin dilarang, kaum Cina tidak dilarang bercakap dengan dialek mereka sehingga ramai kaum Cina di Indonesia yang tidak seorang pun yang boleh berbahasa Mandarin, tetapi masih fasih bercakap dialek Cina seperti Hakka, Hokkien dan Tiochiu. Setelah era reformasi, posisi Bahasa Mandarin bagi kaum cina di Indonesia ialah setaraf sebagai Bahasa Internasional/Bahasa Asing, bukan sebagai bahasa ibunda. Kewajiban kaum Cina mempunyai SBKRI juga telah dihapuskan melalui Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 oleh Soeharto[9]
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali diperkenankan merayakan Tahun Baru Cina ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967, manakala ia juga mengakui kewujudan Konfusianisme sebagai agama rasmi keenam di Indonesia dengan ditandatanganinya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000[10], dalam keputusan itu pula ia membebaskan kaum Tionghoa menjalankan adat-istiadat dan budaya Tionghoa dan melindungi hak-hak kaum minoriti lainnya di Indonesia hingga ia digelari "Bapak Tionghoa Indonesia" berkat jasanya.[11] Ramai kaum Tionghoa menghormati Gusdur dengan menempatkan gambar dan papan rohnya di dalam Kelenteng. Salah satunya berada di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma[12], Gang Pinggir, Kawasan Pekan Cina Semarang. Selain itu kelenteng Boen Bio di Surabaya, Kelenteng Hok An Kiong di Desa Muntilan, Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto juga memberi penghormatan dengan menempatkan gambar atau papan roh (sinci) dalam bilik khas.
Pemakaian istilah pribumi/non-pribumi atau bumiputera/non-bumiputera yang telah diwarisi pada masa kolonial Belanda juga mengketepikan status kaum cina di kalangan masyarakat awam yang pada akhirnya tidak selaras dengan falsafah asas kenegaraan Indonesia iaitu Pancasila & Bhinneka Tunggal Ika, hingga pada masa Kepresidenan B. J. Habibie istilah pribumi-nonpribumi dihapuskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi.[13]
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Tahun Baru Cina diisytiharkan menjadi salah satu Hari Cuti Kebangsaan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek.[14]
Pada masa Presiden SBY, sebutan awam istilah Orang Cina atau kaum Cina/China/Tjina diganti dengan Orang Tionghoa untuk membezakan Orang Cina di tanah besar cina dengan Orang Tionghoa yang sudah menetap dan beranak cucu di Indonesia, keputusan ini termaktub pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014.[15] Istilah "Tionghoa" didapat dari Bahasa Hokkien, salah satu dialek cina yang paling ramai dipakai oleh kaum Tionghoa di Indonesia. Tionghoa juga memiliki makna sama dengan "Zhōnghuá" dalam Bahasa Mandarin.
Peranan Budaya Masyarakat Tionghoa
Banyak sekolah Tionghoa telah didirikan oleh pertubuhan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak tahun 1900 dan mendorong perkembangan akhbar serta kesusasteraan Melayu Tionghoa. Maka dalam tempoh 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3,000 naskhah buku, suatu prestasi yang luar biasa apabila dibandingkan dengan sastera yang dihasilkan oleh kumpulan intelektual baru, kumpulan 45, 66, dan pasca 66 yang tidak begitu produktif. Dengan demikian, komuniti ini telah berjasa dalam penciptaan suatu perkembangan yang awal bagi bahasa Indonesia.
Di Medan, rasa hormatnya kepada Sultan Deli Makmun Al Rasyid menyebabkan Tjong A Fie, dermawan dan usahawan Tionghoa, menderma sepertiga daripada kos pembangunan Masjid Raya Medan.
Nota kaki dan rujukan
- ^ Tan, Herman (2021-06-20). "Berapa Jumlah Etnis Tionghoa di Indonesia Berdasarkan Sensus Penduduk 2020". tionghoa info (dalam bahasa Indonesia). Dicapai pada 2023-06-25.
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
- ^ AYAH TONY
- ^ "Orang Tionghoa:Suatu pengantar tentang jejak keberadaan dan warisan budaya di Maluku". siwalimanews. Dicapai pada 2 Mei 2023.
- ^ [http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm Laman web home.iae.nl
- ^ "Laman web www.obor.co.id". Diarkibkan daripada yang asal pada 2007-09-28. Dicapai pada 2007-04-07.
- ^ Laman web Nationaalarchief
- ^ Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan
- ^ Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina
- ^ Ibad, Muhamad Nurul; Akhmad Fikri A. F (2012). Bapak Tionghoa Indonesia (ed. Cet. 1). Yogyakarta: Penerbit & distribusi, LKiS. ISBN 978-979-25-5345-1.
- ^ "Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma".
- ^ Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967
Lihat juga
Pautan luar
- (Indonesia) Persatuan Islam Tionghoa Indonesia / Yasasan Karim Oey / Pengajian Muslim Tionghoa dan Keluarga
- (Indonesia) Forum Perbincangan Budaya Tionghoa dan Sejarah China
- (Indonesia) Cina lwn Tionghoa
- (Indonesia) Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupa Diarkibkan 2007-01-07 di Wayback Machine