Daeng Upu Tanderi Burong, atau nama sebenarnya adalah Upu Tanderi Bureng Daeng Rilaka, juga digelarkan sebagai Daeng Rilaka / Rilakka merupakan tokoh sejarah penting dari suku Bugis.
Menjadi Yang Dipertuan Muda Riau
Beliau merupakan Yang Dipertuan Muda Riau pertama (1722-1728) dan Kedua (1728-1745). Beliau menjadi Yang Dipertuan Muda Riau sebanyak dua kali, dan memimpin di era awal Kesultanan Riau-Lingga. Beliau juga seorang Panglima Perang terkemuka, serta menjadi Raja di Mempawah, Kalimantan Barat, yang merupakan pengembara Bugis terkemuka yang membawa pengaruh Bugis. Pengaruh beliau adalah dalam politik dan ketenteraan di wilayah Riau-Lingga dan meluas sehingga sampai ke Kalimantan pada abad ke-18.
Pengaruh Ke Semenanjung Tanah Melayu
“Upu Tanderi Burung Daeng Rilakka, ialah yang mengembara ke sebelah barat,” tulis Raja Khalid ibni Raja Hassan al-Haji dalam kitab Thamaratul Matlub Fi Anuaril Qulub. Walaupun bukan gelombang pertama dalam catatan migrasi orang Bugis ke kawasan Melayu, akan tetapi kedatangan mereka memberi warna dalam perkembangan sejarah di kawasan itu. Hadirnya para bangsawan Bugis tidak hanya mempengaruhi kondisi sosial masyarakat, lebih dari itu, sepak terjang anak-anak Daeng Rilakka ikut mempengaruhi kondisi perpolitikan kerajaan yang berkuasa masa itu. Budaya merantau yang melekat pada salah satu etnis yang ada di Indonesia itu agaknya membentuk karakter yang kuat pada setiap pribadi perantau Bugis. Kekuatan tekad orang-orang Bugis digambarkan dalam peribahasa “Pura ba’bara sompe’ku, pura tangkisi golingku, kulebbirirengngi telling natoalie,” yang berarti - telah terkembang layarku, telah terikat kemudiku, aku memilih tenggelam dari pada kembali. Sekalipun secara harfiah Daeng Rilakka bersama kelima anaknya tidaklah tenggelam, akan tetapi hingga akhir hayat, mereka berada di Tanah Melayu. Tinggalan-tinggalan yang tersebar di kawasan Sungai Carang, berkaitan erat dengan pemerintahan Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga pada kurun akhir abad ke-17 hingga akhir abad 18. Pasca beralihnya kekuasaan ke tangan Tengku Sulaiman bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah ibni Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV, maka para daeng mulai terlibat dalam kekuasaan. Selain sultan sebagai pimpinan tertinggi dalam sistem pemerintahan kerajaan, posisi jabatan pun ditambah, apabila sebelumnya setelah sultan terdapat Bendahara Kerajaan, maka pada masa Sultan Sulaiman terdapat posisi Yang Dipertuan Muda. Posisi ini diisi oleh keturunan Bugis, diawali dengan Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuan Muda I.[1]
Rujukan
- ^ Nurhalimah, Nurhalimah; Bandarsyah, Desvian; Jumardi, Jumardi (2019-11-05). "Keberadaan Balai Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Banten dalam Pelestarian Situs Cagar Budaya di Daerah Cibungbulang". Chronologia. 1 (2): 105–122. doi:10.22236/jhe.v1i2.4721. ISSN 2686-0171.








