Sebahagian kandungan di laman rencana ini menggunakan istilah atau struktur ayat yang terlalu menyebelahi gaya bahasa negara tertentu hasil penggunaan semula kandungan sumber tanpa pengubahsuaian. Anda diminta mengolah semula gaya bahasa rencana ini supaya penggunaan istilah di rencana ini seimbang, selaras serta mudah difahami secara umum dalam kalangan pengguna-pengguna bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting |
Purgatorium[1] ([pur.ga.to.ri.um]) atau Penyuci menurut kepercayaan sesetengah mazhab agama Kristian ialah suatu keadaan perantara selepas kematian fizikal untuk membersihkan atau menebus segala dosa yang pernah dilakukan di alam fana;[2] ada yang menerimanya terus seperti mazhab Katolik manakala ada juga yang menidakkan kewujudannya seperti sesetengah mazhab Barat, khususnya dalam Protestantisme. Beberapa konsep Gehenna dalam Judaisme turut dilihat serupa dengan konsep "perumah sementara" ini.
Gereja England yang menempatkan Golongan Anglikan, secara rasminya menidakkan kewujudan ini kerana ia dilihat sebagai "Doktrin dari Roma",[3] namun mazhab-mazhab gereja Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Methodist, [4] dan sebahagian puak Anglikan dan Lutheran pula ada berpendapat bahawa adanya penyucian dosa selepas kematian serta pendoaan agar si mati aman bersemadi.[5][6][7][8] Gereja-gereja Baharu turut mengajarkan bahawa mereka yang berlepas dihantar dari dosa mereka melalui proses pemuliaan.
Sejarah kepercayaan
Penggunaan kata "Purgatorium" (sebagaimana kata ini disebut dalam bahasa Latin) sebagai kata benda mungkin baru terlihat antara tahun 1160 dan 1180, yang menimbulkan gagasan bahawa purgatorium adalah suatu tempat[9] (yang Jacques Le Goff sebut "kelahiran" purgatorium).[10] Tradisi Purgatorium dalam Katolik Roma sebagai suatu kondisi transisi memiliki sejarah yang bersumber, bahkan sebelum Yesus Kristus, sehingga amalan di seluruh dunia dalam hal mengurus orang-orang yang telah mati dan berdoa bagi mereka, serta kepada kepercayaannya, yang juga ditemukan dalam Yudaisme,[11] yang dipandang sebagai cikal bakal Kekristenan, bahawa berdoa bagi orang yang telah meninggal dunia bermanfaat untuk penyucian dalam kehidupan setelah kematian. Praktik serupa tampak dalam tradisi-tradisi lainnya, misalnya amalan Buddha Cina abad pertengahan dalam hal mempersembahkan korban demi kepentingan si mati, yang dikatakan menderita berbagai kesusahan.[12] Katolik Roma percaya akan penyucian dalam kehidupan setelah kematian dari dunia ini didasarkan pada amalan berdoa untuk si mati, yang disebutkan dalam apa yang dinyatakan Gereja Katolik Roma sebagai bagian dari Kitab Suci,[13][14] dan diterapkan oleh umat Kristian sejak awal,[15] suatu amalan yang mengandaikan bahawa si mati karenanya dibantu dalam fase antara kematian jasmani dan masuknya mereka ke dalam kediaman akhir mereka.[12]
Kepercayyan akan adanya hukuman sementara yang sepadan dalam kehidupan setelah kematian, atas semua sikap dan perilaku masing-masing orang selama hidupnya di dunia ini, diungkapkan dalam karya tulis Kristian awal berbahasa Yunani yang dikenal sebagai Diskursus Yosefus untuk Orang Yunani mengenai Hades, yang pernah diatribusikan pada Yosefus (37 – s. 100) namun sekarang diyakini sebagai karya Hippolitus dari Roma (170–235).[16]
Sesaat sebelum ia berpindah keyakinan menjadi Katolik Roma,[17] akademisi Inggris John Henry Newman berpendapat bahawa esensi doktrin ini terletak dalam tradisi kuno, dan bahawa konsistensi inti keyakinan-keyakinan semacam ini merupakan bukti kalau Kekristenan "pada dasarnya diberikan kepada kita dari syurga".[18] Umat Katolik Roma tidak menganggap ajaran tentang Purgatorium sebagai penambahan-penambahan imajinatif, memandangnya sebagai bagian dari iman yang berasal dari penyataan Yesus Kristus yang diwartakan oleh para Hawari. Dari antara para Bapa Gereja awal, Origenes mengatakan bahawa "ia yang diselamatkan, karena itu diselamatkan melalui api" yang membakar dosa-dosa dan keduniawian sama seperti proses pemurnian emas dalam api dari logam-logam lain seperti timah hitam.[19] St. Ambrosius dari Milan berbicara mengenai semacam "baptisan api" yang terletak di pintu masuk menuju Syurga, dan semua orang musti melewatinya, pada akhir dunia ini.[20] St. Gregorius Agung mengatakan bahawa keyakinan akan Purgatorium adalah "jelas" (constat), dan "diyakini" (credendum), serta menegaskan bahawa 'api' Purgatorial hanya dapat memurnikan pelanggaran-pelanggaran kecil, bukan "besi, perunggu, atau timah hitam," ataupun dosa-dosa "keras" (duriora) lainnya.[21] Dengan ini ia menyampaikan bahawa keterikatan pada dosa, kebiasaan berdosa, dan bahkan dosa-dosa ringan dapat dilepaskan dalam Purgatorium, tetapi tidak dosa berat, yang menurut doktrin Katolik mengakibatkan hukuman kekal. Selama berabad-abad, para agamawan dan kalangan Kristian lainnya mengembangkan doktrin mengenai Purgatorium, yang kemudian menyebabkan penetapan doktrin secara resmi (berbeda dari gambaran masyhur legendaris yang ditemukan dalam sajak) pada Konsili Lyon I (1245), Konsili Lyon II (1274), Konsili Firenze (1438–1445), dan Konsili Trente (1545–63).[12][22]
Kekristenan
Sejumlah gereja, khususnya Katolik Roma, mengakui doktrin Purgatorium. Banyak gereja Protestan dan Ortodoks Timur tidak menggunakan terminologi yang sama, yang pertama disebutkan mendasari pada doktrin sola scriptura mereka, dikombinasikan dengan pengecualian mereka atas Kitab 2 Makabe dari Alkitab; sementara Gereja Ortodoks menganggap Purgatorium sebagai suatu doktrin yang non-esensial.
Katolisisme
Gereja Katolik memberi nama Purgatorium atas pemurnian akhir semua orang yang wafat dalam rahmat dan persahabatan dengan Tuhan, tetapi masih belum dimurnikan secara sempurna.[23] Purgatorium lebih sering digambarkan sebagai suatu tempat daripada suatu proses pemurnian, namun gagasan purgatorium sebagai suatu tempat secara fisik bukan merupakan bagian dari doktrin Gereja.[24]
Syurga dan Neraka
Menurut keyakinan Katolik, seketika setelah kematian jasmaninya, seseorang menjalani penghakiman khusus yang menentukan nasib jiwanya dalam kekekalan.[25] Beberapa jiwa dapat langsung bersatu dengan Tuhan dalam Syurga, dibayangkan sebagai suatu firdaus sukacita abadi, Theosis terselesaikan dan jiwa mengalami visiun beatifis Tuhan. Sebaliknya, sebahagian jiwa lainnya (mereka yang mati dalam kebencian kepada Tuhan dan Kristus) mencapai suatu keadaan yang disebut Neraka, iaitu keterpisahan selamanya dari Tuhan yang sering dibayangkan sebagi suatu kediaman yang tanpa akhir dalam siksaan nyala api, suatu api yang terkadang dianggap metaforis.[26]
Peranan berkaitan dosa
Selain menerima keadaan syurga dan neraka, Katolisisme juga memandang adanya keadaan ketiga bagi jiwa sebelum diterima dalam syurga. Menurut doktrin Katolik, sebahagian jiwa belum bebas sepenuhnya dari kesan sementara dosa dan akibatnya untuk dapat langsung memasuki keadaan syurga, sementara sebahagian lainnya sedemikian berdosa dan penuh kebencian kepada Kristus sehingga langsung memasuki keadaan neraka.[27] Roh-roh ini yang ditentukan berakhir dalam persatuan dengan Tuhan dalam syurga perlu dibersihkan terlebih dahulu melalui purgatorium – suatu keadaan pemurnian atau penyucian.[28] Melalui purgatorium, jiwa-jiwa "meraih kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan syurga".[29] Dosa berat mengakibatkan hukuman sementara sekaligus hukuman kekal, sementara dosa ringan hanya mengakibatkan hukuman sementara. Gereja Katolik membuat perbedaan antara kedua jenis dosa tersebut.[30] Dosa berat adalah "dosa yang objeknya adalah hal berat serta yang juga dilakukan dengan pengetahuan penuh dan persetujuan yang telah dipertimbangkan",[31] sehingga "kalau tidak ditebus melalui penyesalan dan pengampunan Tuhan mengakibatkan pengecualian dari kerajaan Kristus dan kematian abadi dalam neraka, sebab kebebasan kita mempunyai kuasa untuk membuat pilihan untuk selama-lamanya tanpa dapat ditarik kembali".[32]
Sebaliknya, dosa ringan "tidak menjadikan kita bertentangan secara langsung terhadap kehendak dan persahabatan Tuhan"[33] dan, kendati masih "merupakan suatu gangguan moral",[34] tidak melepaskan persahabatan dengan Tuhan dalam diri orang yang berdosa, dan konsekuensinya kebahagiaan kekal dalam syurga.[33] Namun, karena dosa ringan memperlemah kasih, memanifestasikan afeksi yang tidak semestinya pada barang-barang ciptaan, dan menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan serta kebaikan moral, maka dosa ringan mengakibatkan hukuman sementara (temporal).[33]
Menurut Katolisisme, pemurnian dari kecenderungan berdosa dapat terjadi selama hidup di dunia ini. Situasi tersebut dapat dibandingkan dengan seseorang yang perlu dilepaskan dari kecanduan apapun. Sebagaimana rehabilitasi dari suatu kecanduan, rehabilitasi dari "afeksi yang tidak teratur pada barang-barang ciptaan" merupakan suatu proses bertahap dan mungkin menyakitkan. Kemajuan proses itu selama hidup di dunia ini dapat dilakukan melalui penitensi dan penyangkalan diri secara sukarela serta melalui tindakan-tindakan atas dasar kemurahan hati yang memperlihatkan kasih akan Tuhan, bukan kasih akan makhluk-makhluk ciptaan. Setelah kematian jasmaniah, suatu proses pembersihan dapat dipandang sebagai suatu persiapan yang masih diperlukan untuk memasuki hadirat ilahi.[35]
Santa Katarina dari Genoa menuliskan: "Adapun syurga, Tuhan tidak menempatkan pintu di sana. Siapapun yang ingin masuk, [dapat] melakukannya. Tuhan yang penuh belas kasih berdiri di sana dengan tangan-Nya terbuka, menanti untuk menerima kita ke dalam kemuliaan-Nya. Tetapi, saya juga melihat bahawa hadirat ilahi begitu murni dan penuh cahaya – jauh melebihi yang dapat kita bayangkan – bahawa jiwa yang pantas namun memiliki sedikit ketidaksempurnaan lebih memilih melemparkan dirinya ke dalam seribu neraka daripada tampil di hadapan hadirat ilahi. Lidah tidak dapat mengungkapkan dan hati juga tidak memahami sepenuhnya arti purgatorium, yang rela diterima jiwa sebagai suatu belas kasih atas kesadaran bahawa penderitaan itu tidak penting dibandingkan dengan pelepasan hambatan dosa."[36]
Rasa sakit dan api
Purgatorium umumnya dipandang sebagai suatu penyucian dengan cara hukuman sementara yang menyakitkan, yang—sama seperti hukuman kekal neraka—dihubungkan dengan gagasan mengenai api.[37] Kendati "rasa sakit indra-indra" (berbeda dengan "rasa sakit kerinduan" akan Visiun Beatifis) secara doktrinal tidak didefinisikan sebagai bagian dari Purgatorium, para teolog memiliki konsensus yang sangat kuat bahawa kesakitan indrawi juga termasuk. Beberapa Bapa Gereja memandang 1 Korintus 3:10–15 sebagai bukti adanya suatu keadaan peralihan yang membakar habis sisa-sisa pelanggaran ringan, dan jiwa yang telah dimurnikan akan diselamatkan.[37] Api merupakan penggambaran yang diilhami Alkitab ("Kami telah menempuh api dan air")[38] yang digunakan umat Kristian untuk konsep pemurnian dalam kehidupan setelah kematian.[39] St. Agustinus mendeskripsikan api-api dalam penyucian sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari apa pun yang dapat diderita seseorang dalam kehidupan ini,[37] dan Paus Gregorius I menuliskan bahawa harus ada suatu api penyucian untuk beberapa kesalahan kecil yang mungkin masih perlu disingkirkan.[40] Origenes menuliskan tentang api yang diperlukan untuk memurnikan jiwa,[41] dan St. Gregorius dari Nyssa juga menulis tentang api pembersihan.[42]
jmpl|kiri|Penggambaran jiwa-jiwa yang dimurnikan oleh nyala api dalam purgatorium.
Kebanyakan teolog dari masa lampau menyatakan bahawa api tersebut dalam arti tertentu adalah suatu api materiil, meski sifatnya berbeda dari api biasa, namun pendapat teolog-teolog lainnya yang menafsirkan istilah biblis "api" secara metaforis tidak dikecam oleh Gereja[43] dan mungkin sekarang menjadi pandangan yang lebih umum di antara para teolog. Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara tentang suatu "api penyucian"[44] dan mengutip ungkapan "purgatorius ignis" (api pemurnian) yang digunakan Paus Gregorius Agung. KGK berbicara tentang hukuman sementara karena dosa, bahkan dalam kehidupan ini, sebagai salah satu dari "segala macam penderitaan dan cobaan".[45] KGK mendeskripsikan purgatorium sebagai pemurnian yang diperlukan karena "suatu keterikatan yang tidak sehat dengan makhluk-makhluk", suatu pemurnian yang "membebaskan seseorang dari apa yang dinamakan 'siksa dosa sementaraTemplat:'", suatu hukuman yang "tidak boleh dipandang sebagai semacam balas dendam yang ditimpakan Tuhan dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang timbul dari hakikat dosa itu sendiri."[46]
Doa untuk si mati dan indulgensi
lurus|jmpl|kiri|Inskripsi dalam Katakomba Roma memuat doa-doa bagi si mati.[47][47][39]
Gereja Katolik mengajarkan bahawa nasib mereka yang berada dalam purgatorium dapat dipengaruhi oleh tindakan mereka yang masih hidup di dunia ini. Ajaran itu juga didasarkan pada amalan berdoa bagi si mati sejak zaman dahulu sebagaimana disebutkan pada 2 Makabe 12:42–46, yang dipandang oleh umat Katolik dan Ortodoks sebagai bagian dari Kitab Suci.[48]
Dalam konteks yang sama ada disebutkan amalan indulgensi. Suatu indulgensi merupakan remisi di hadapan Tuhan, melalui perantaraan Gereja, atas hukuman sementara akibat dosa-dosa yang telah mendapat pengampunan.[49] Indulgensi dapat diperoleh bagi diri sendiri, ataupun dipersembahkan bagi orang yang telah meninggal dunia.[50] Terlepas dari persepsi populer di kalangan non-Katolik, Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahawa indulgensi memiliki kuasa pengampunan dosa karena hal itu dipandang sebagai yurisdiksi Tuhan saja. Siapa pun yang mengajarkan bahawa dengan melakukan tindakan-tindakan kasih seperti indulgensi saja dapat mengampuni dosa telah dikecam sebagai bidah (sesat) oleh Gereja Katolik. Mengatakan bahawa indulgensi dapat berlaku tanpa peduli seberapa besar kadar keimanan seseorang, tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan, juga dipandang sesat. Suatu indulgensi bergantung (atau tindakan kasih apa pun untuk hal itu) pada kadar keimanan seorang individu Kristian pada saat tersebut (lihat kasus Johann Tetzel).
Indulgensi dan doa untuk si mati telah secara umum dibayangkan sebagai pengurang "durasi" waktu yang dihabiskan oleh si mati dalam purgatorium. Gagasan itu terkait dengan kenyataan bahawa, pada masa lampau, indulgensi diterapkan dalam ukuran jumlah hari, periode 40 hari sebagaimana masa Prapaskah, ataupun tahun, yang sesungguhnya berarti bahawa bukan purgatorium yang dipersingkat dengan jumlah waktu tetapi indulgensi dilakukan sepanjang penitensi kanonik pada sisi orang Kristian yang masih hidup di dunia ini.[51] Ketika pemberlakuan penitensi kanonik tersebut dalam suatu durasi tertentu keluar dari kebiasaan, ungkapan-ungkapan sedemikian terkadang disalahartikan sebagai pengurangan jumlah waktu yang dihabiskan jiwa dalam purgatorium.[51] Suatu naskah doa yang pernah dimiliki Henry VIII[52] mengklaim bahawa "berkas duka ini dengan setia mengatakan 5 Pater Noster, 5 Ave Maria dan 1 Kredo..." memberi suatu ampunan dan pengurangan waktu dalam purgatorium selama "52.712 tahun dan 40 hari ampunan".[53] Dalam revisi aturan tentang indulgensi oleh Paus Paulus VI, ungkapan-ungkapan semacam itu dihapuskan, dan digantikan dengan ungkapan "indulgensi sebahagian", yang mengindikasikan bahawa orang yang memperoleh indulgensi tersebut karena suatu tindakan kesalehan dianugerahkan, "di samping penghapusan siksa dosa (hukuman) sementara yang diperoleh dari tindakan itu sendiri, suatu penghapusan siksa dosa yang sebanding melalui campur tangan Gereja".[54]
Secara historis, amalan pemberian indulgensi, dan pelanggaran-pelanggaran terkait yang menyebar luas,[55] menyebabkan indulgensi dianggap semakin terkait erat dengan uang, dengan adanya kritik-kritik yang ditujukan terhadap "penjualan" indulgensi, salah satu sumber kontroversi yang merupakan penyebab langsung Reformasi Protestan di Jerman dan Swiss.[56]
Sebagai tempat fisik
jmpl|kiri|Dante menatap purgatorium (diperlihatkan sebagai sebuah gunung) dalam lukisan abad ke-16.
Anggapan bahawa Syurga, Neraka, dan Purgatorium sebagai tempat-tempat dalam alam semesta fisik bukan merupakan doktrin Gereja. Bagaimanapun, pada zaman antikuitas dan abad pertengahan, Syurga dan Neraka secara luas dianggap sebagai tempat-tempat yang berada di dalam alam semesta fisik: Syurga "di atas", di langit; Neraka "di bawah", di dalam atau di bawah permukaan bumi. Demikian pula, Purgatorium pada zaman tersebut dianggap sebagai suatu lokasi fisik.
Pada tahun 1206, seorang petani bernama Thurkhill di Inggris mengklaim bahawa Santo Yulianus membawanya berkeliling Purgatorium. Ia memberikan detail terperinci, termasuk deskripsi-deskripsi dari apa yang ia sebut "kamar-kamar penyiksaan" Purgatorium, dan diyakini secara luas, termasuk oleh sejarawan Gereja Roger dari Wendover.[57]
Dalam karya Dante pada abad ke-14 yang berjudul Divina Commedia (Komedi Ilahi), Purgatorium digambarkan sebagai sebuah gunung di belahan bumi bagian selatan dan tampaknya merupakan satu-satunya daratan di sana. Jiwa-jiwa yang mengasihi Tuhan dan manusia yang setengah hati mendapati diri mereka berada di Gunung Purgatorium, yang memiliki dua tingkatan, kemudian Tujuh Tingkat yang merepresentasikan Tujuh dosa pokok dengan hukuman-hukuman yang ironis. Sebagai contoh, pada tingkat pertama untuk Kesombongan, para penghuninya dibebani batuan-batuan besar yang memaksa mereka untuk melihat contoh Kesombongan seperti pada patung Arakhne di perjalanan mereka mendaki. Saat mencapai puncak gunung, mereka mendapati diri mereka berada di antipode Yerusalem, iaitu Taman Eden. Setelah dibersihkan dari segala dosa dan dijadikan sempurna, mereka menanti dalam firdaus Duniawi sebelum naik ke Syurga.
Pada tahun 1999, Paus Yohanes Paulus II menyebut Purgatorium sebagai "suatu kondisi keberadaan",[24] menyiratkan bahawa Purgatorium kemungkinan besar bukan suatu tempat atau lokasi fisik yang sebenarnya, tetapi suatu keadaan yang di dalamnya "mereka yang, setelah wafat, berada dalam suatu keadaan pemurnian, telah berada dalam kasih Kristus yang menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan dari diri mereka."
Pada tahun 2011, Paus Benediktus XVI, berbicara tentang Santa Katarina dari Genoa (1447–1510), mengatakan bahawa pada zamannya pemurnian jiwa-jiwa (Purgatorium) digambarkan sebagai suatu lokasi dalam ruang fisik, namun santa tersebut memandang Purgatorium sebagai suatu api batin yang memurnikan, sebagaimana yang ia alami dalam kesedihan mendalam akibat dosa-dosa yang dilakukan bila dibandingkan dengan kasih Tuhan yang tanpa batas. St Katarina mengatakan bahawa masih adanya keterikatan pada keinginan dan penderitaan akibat dosa yang diperbuat menjadikan jiwa tidak mungkin dapat menikmati visiun beatifis ("pandangan yang membahagiakan") Tuhan. Sang Paus berkomentar: "Kita juga merasakan betapa jauhnya kita, betapa kita dipenuhi sedemikian banyak hal sehingga kita tidak dapat melihat Tuhan. Jiwa menyadari akan dalamnya kasih serta keadilan sempurna Tuhan, dan konsekuensinya mengalami penderitaan karena gagal menanggapi kasih itu dengan cara yang benar dan sempurna; dan kasih akan Tuhan itu sendiri menjadi suatu nyala api, kasih itu sendiri membersihkannya dari residu dosa."[58]
Pernyataan Katolik
Kompendium Katekismus Gereja Katolik, pertama kali diterbitkan pada tahun 2005, memuat ringkasan Katekismus Gereja Katolik (KGK) dalam bentuk dialog. Kompendium KGK membahas tentang purgatorium[a] dalam rupa tanya jawab berikut:[60]
210. Apa itu purgatorium?
- Purgatorium ialah keadaan mereka yang wafat dalam persahabatan dengan Allah, ada kepastian akan keselamatan kekal mereka, tetapi masih membutuhkan pemurnian untuk masuk ke dalam kebahagiaan surga.
211. Bagaimana kita bisa membantu jiwa-jiwa yang sedang dimurnikan di purgatorium?
- Karena persekutuan para kudus, umat beriman yang masih berjuang di dunia ini dapat membantu jiwa-jiwa di purgatorium dengan mempersembahkan doa-doa untuk mereka, khususnya korban Ekaristi. Umat beriman juga dapat membantu mereka dengan beramal, indulgensi, dan karya penitensi.
Kedua tanya jawab di atas merangkum penjelasan yang terdapat dalam KGK 1020–1032[61] dan 1054,[62] yang dipublikasikan pada tahun 1992, yang juga berbicara tentang purgatorium pada bagian 1472 dan 1473.[63]
Pernyataan-pernyataan otoritatif lainnya ditemukan dalam dokumen-dokumen Konsili Trente tahun 1563[64] dan Konsili Florence tahun 1439.[65]
Katolisisme Timur
Gereja Katolik Timur mencakup gereja-gereja Katolik sui iuris dengan tradisi Timur, dalam persekutuan penuh dengan Sri Paus. Terdapat beberapa perbedaan antara teologi Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur dalam hal purgatorium, kebanyakan berhubungan dengan terminologi dan spekulasi. Gereja Katolik Timur dengan tradisi Yunani umumnya tidak menggunakan kata "purgatorium", tetapi sependapat bahawa terdapat suatu "pemurnian akhir" bagi jiwa-jiwa yang ditentukan memasuki syurga, dan bahawa doa-doa dapat membantu si mati yang berada dalam keadaan "pemurnian akhir". Secara umum, baik jemaat Gereja Latin maupun jemaat Gereja Katolik Timur menganggap perbedaan-perbedaan tersebut sebagai poin-poin perbantahan, tetapi melihatnya sebagai perbedaan-perbedaan kecil dan perbedaan tradisi masing-masing. Sebuah traktat yang mengesahkan penerimaan Gereja Katolik Yunani Ukraina ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma menyatakan: "Kita tidak seharusnya berdebat tentang purgatorium, tetapi kita mempercayakan diri kita pada ajaran Gereja Kudus",[66] mengimplikasikan bahawa, menurut pendapat seorang teolog Gereja tersebut, kedua belah pihak dapat saja bersepakat untuk tidak sepakat pada opini-opini dan spekulasi-spekulasi teologis mengenai apa yang disebut Purgatorium, namun terdapat kesepakatan penuh pada dogma esensial.[67] Antara Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur lainnya, seperti Gereja Katolik Siro-Malabar, tidak terdapat perbedaan seputar opini-opini teologis tentang Purgatorium.[68][69]
Gereja Katolik Timur yang tergabung dalam Tradisi Siria (seperti aliran-aliran Katolik Kaldea, Maruni, dan Suryani), pada dasarnya percaya pada konsep Purgatorium namun menggunakan istilah yang berbeda, misalnya 'Sheol'. Mereka menyatakan bahawa hal itu tidak bertentangan dengan doktrin Katolik-Latin.[70]
Ortodoksi Timur
jmpl|Tertidurnya Theotokos (sebuah ikon abad ke-13).
Gereja Ortodoks Timur menolak istilah "purgatorium", namun mengakui adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian jasmani. Mereka meyakini adanya penentuan Syurga dan Neraka seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, dan bahawa doa bagi orang yang telah meninggal dunia adalah perlu. Menurut Keuskupan Agung Ortodoks Yunani Amerika:
Perkembangan moral jiwa, baik untuk yang lebih baik ataupun lebih buruk, berakhir pada saat pemisahan tubuh dan jiwa; pada saat itu juga nasib definitif jiwa dalam kehidupan kekal ditentukan. ... Tidak ada jalan pertobatan, tidak ada jalan keluar, tidak ada reinkarnasi dan tidak ada bantuan dari dunia luar. Tempatnya diputuskan selamanya oleh hakim dan Penciptanya. Gereja Ortodoks tidak percaya akan purgatorium (suatu tempat pembersihan), iaitu, keadaan peralihan setelah kematian yang di dalamnya jiwa-jiwa yang diselamatkan (mereka yang belum menerima hukuman sementara akibat dosa-dosa mereka) dimurnikan dari semua noda sebagai persiapan untuk masuk ke dalam Syurga, di mana setiap jiwa adalah sempurna dan layak untuk melihat Tuhan. Selain itu, Gereja Ortodoks tidak percaya pada indulgensi sebagai remisi dari hukuman purgatoral. Purgatorium dan indulgensi merupakan teori-teori yang saling terkait, tidak terdapat dalam Alkitab ataupun dalam Gereja Purba, dan ketika diberlakukan dan diterapkan membawa amalan jahat dengan mengorbankan Kebenaran Gereja yang berlaku. Seandainya Tuhan Yang Mahakuasa dalam cinta kasih-Nya yang penuh belas kasihan mengubah situasi yang mengerikan pada pendosa, hal itu tidak diketahui Gereja Kristus. Gereja hidup selama seribu lima ratus tahun tanpa teori semacam itu.[71]
Ajaran Ortodoks Timur adalah bahawa, sementara semua orang menjalani Penghakiman Khusus seketika setelah meninggal dunia, baik orang yang dibenarkan maupun orang fasik tidak mencapai keadaan akhir kebahagiaan ataupun hukuman sebelum hari terakhir,[72] dengan beberapa pengecualian bagi jiwa-jiwa yang dibenarkan seperti Theotokos (Santa Perawan Maria), "yang diusung oleh para malaikat langsung menuju syurga".[73]
Gereja Ortodoks Timur berpegang pada keyakinan bahawa diperlukan adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian yang di dalamnya orang percaya disempurnakan dan dibawa menuju pengilahian sepenuhnya, suatu proses pertumbuhan dan bukan hukuman, yang disebut purgatorium oleh sejumlah kalangan Ortodoks.[74] Teologi Ortodoks Timur umumnya tidak mendeskripsikan keadaan si mati sebagai situasi yang melibatkan penderitaan ataupun api, kendati mendeskripsikannya sebagai suatu "kondisi yang mengerikan".[75] Jiwa-jiwa dari si mati yang dibenarkan berada dalam keadaan terang dan istirahat, dengan suatu rasa pendahuluan kebahagiaan kekal; tetapi jiwa-jiwa dari orang fasik berada dalam suatu keadaan yang sebaliknya. Sementara jiwa-jiwa yang berpulang dengan iman, tetapi "tanpa sempat menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan..., dapat dibantu menuju tercapainya suatu kebangkitan yang diberkahi [pada akhir zaman] melalui doa-doa yang dipersembahkan demi kepentingan mereka, khususnya yang dipersembahkan dalam persatuan dengan persembahan korban tak berdarah dari Tubuh dan Darah Kristus, serta melalui karya-karya belas kasih yang dilakukan dengan iman demi kenangan akan mereka."[76]
Keadaan yang dialami jiwa-jiwa seperti demikian seringkali disebut sebagai "Hades".[77]
Pengakuan Iman Ortodoks Peter Mogila (1596–1646), yang diadopsi, dalam sebuah terjemahan Yunani oleh Meletius Syrigos, melalui Konsili Jassy tahun 1642, di Rumania, mengakukan bahawa "banyak yang dibebaskan dari penjara neraka ... melalui karya-karya baik dari mereka yang masih hidup di dunia ini dan doa-doa Gereja bagi mereka, hampir semuanya melalui korban tak berdarah, yang dipersembahkan pada hari-hari tertentu bagi semua yang masih hidup di bumi dan yang telah meninggal dunia" (pertanyaan 64); dan (di bawah judul "Bagaimana orang harus memandang api purgatorial?") "Gereja dengan tepat melakukan doa-doa dan korban tak berdarah bagi mereka, namun mereka tidak membersihkan diri mereka sendiri dengan menderita sesuatu. Tetapi, Gereja tidak pernah berpegang pada hal-hal yang berkenaan dengan kisah-kisah fantastis dari beberapa kalangan mengenai jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia, yang tidak melakukan silih dan dihukum, seakan-akan, dalam aliran sungai, mata air, dan rawa-rawa" (pertanyaan 66)."[78]
Sinode Yerusalem (1672) Ortodoks Timur menyatakan bahawa "jiwa-jiwa dari mereka yang telah tertidur tidak berada dalam istirahat ataupun dalam siksaan, menurut apa yang telah diperbuat masing-masing" (suatu kenikmatan ataupun hukuman yang hanya akan dituntaskan setelah kebangkitan orang mati); tetapi sebahagian jiwa "pergi ke dalam Hades, dan di sana menanggung hukuman akibat dosa-dosa yang mereka lakukan. Tetapi mereka sadar akan pembebasan mereka dari sana pada masa mendatang, dan diberikan oleh Kebaikan Tertinggi, melalui doa-doa para Imam, dan karya-karya baik yang dilakukan bagi Yang Berpulang oleh kerabat mereka masing-masing; secara khusus korban tak berdarah memberikan manfaat yang paling besar; yang dipersembahkan masing-masing terutama bagi kerabatnya yang telah tertidur, dan yang dipersembahkan setiap hari oleh Gereja Katolik dan Apostolik bagi semua yang serupa keadaannya. Tentu saja dipahami bahawa kita tidak mengetahui waktu pembebasan mereka. Kita tahu dan percaya bahawa ada pembebasan sedemikian dari kondisi mengerikan mereka, serta sebelum penghakiman dan kebangkitan umum, tetapi kita tidak mengetahuinya kapan."[75]
Beberapa kalangan Ortodoks percaya pada suatu ajaran tentang adanya "rumah tol aerial" bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia. Menurut teori tersebut, yang ditolak oleh kalangan Ortodoks lainnya tetapi terdapat dalam himnologi Gereja Ortodoks,[79] "setelah kematian seseorang jiwanya meninggalkan tubuhnya dan dihantar kepada Tuhan oleh malaikat-malaikat. Selama perjalanan ini, jiwa melintasi suatu dunia aerial ("udara") yang dikuasai oleh roh-roh jahat. Jiwa menjumpai roh-roh jahat itu di berbagai titik yang disebut sebagai 'rumah-rumah tol' tempat roh-roh jahat kemudian berusaha untuk menuduhnya karena dosa dan, bila memungkinkan, menarik jiwa ke dalam neraka."[80]
Yudaisme
Dalam Yudaisme, Gehenna merupakan suatu tempat pemurnian yang, menurut sejumlah tradisi, kebanyakan orang berdosa menghabiskan waktu hingga satu tahun sebelum dibebaskan.
Pandangan Yahudi tentang purgatorium dapat ditemukan dalam ajaran golongan Shamai: "Pada hari penghakiman terakhir akan ada tiga golongan jiwa: yang dibenarkan akan segera dituliskan untuk kehidupan abadi; yang fasik, untuk Gehenna; tetapi mereka yang kebajikan dan dosanya mengimbangi satu sama lain akan turun ke Gehenna serta melayang ke atas dan ke bawah sampai mereka naik dalam kemurnian; karena atas mereka dikatakan: 'Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas' [Zakaria 8:9]; juga, 'Ia [TUHAN] menurunkan ke dalam [Sheol] dan mengangkat dari sanaTemplat:'" (1 Samuel 2:6). Golongan Hilel tampaknya tidak memiliki purgatorium; karena mereka mengatakan: "Ia yang berlimpah kasih setia menghendaki keseimbangan ke arah belas kasih, dan konsekuensinya yang dalam peralihan tidak turun ke dalam Gehenna" (Tosef., Sanh. xiii. 3; R. H. 16b; Bacher, "Ag. Tan." i. 18). Mereka masih berbicara tentang suatu keadaan peralihan.
Mengenai waktu berlangsungnya purgatorium, pendapat yang diterima dari Rabi Akiba adalah 12 bulan; menurut Rabi Yohanan bin Nuri hanya 49 hari. Kedua pendapat itu didasarkan pada Yesaya 66:23–24: "Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh umat manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku, firman TUHAN. Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam"; Rabi Akiba menafsirkan kata-kata "bulan berganti bulan" untuk menandakan semua bulan dalam setahun; Rabi Yohanan menafsirkan kata-kata "Sabat berganti Sabat" sesuai dengan Imamat 23:15–16, untuk menandakan tujuh minggu. Selama dua belas bulan tersebut, dimaklumkan baraita (Tosef., Sanh. xiii. 4–5; R. H. 16b), jiwa-jiwa dari orang fasik dihakimi, dan setelah dua belas bulan berakhir mereka dibinasakan dan diubah menjadi abu di bawah kaki-kaki orang yang dibenarkan (menurut Maleakhi 4:3), sedangkan para penghujat dan penggoda ulung menjalani siksaan kekal di Gehenna tanpa akhir (menurut Yesaya 66:24).
Namun, mereka yang dibenarkan dan—menurut beberapa kalangan—juga para pendosa di antara orang-orang Israel untuk siapa Abraham bersyafaat, karena mereka menyandang tanda perjanjian Abraham, tidak dirugikan oleh api Gehenna bahkan ketika mereka diharuskan melewati keadaan peralihan purgatorium ('Er. 19b; Ḥag. 27a).[81]
Lihat pula
- Dosa ringan
- Firdaus
- Gehenna
- Indulgensi
- Keadaan antara
- Limbo
- Olam Hoba
- Pandangan Kristian tentang Hades
- Pandangan Kristian tentang neraka
- Pangkuan Abraham
- Penitensi
- Purgatorio, bagian kedua dari Divina Commedia karya Dante
- Purgatorium St Patricius
- Roh-roh dalam penjara
- Sejarah Purgatorium
- Sheol
- Syurga dalam agama Kristian
- Taman Eden
- Tidur jiwa
Nota
Rujukan
- ^ "Purgatory", Oxford English Dictionary
- ^ "purgatory", Merriam-Webster Dictionary
- ^ Articles of Religion, article XXII
- ^ Gould, James B. (4 August 2016). Understanding Prayer for the Dead: Its Foundation in History and Logic (dalam bahasa English). Wipf and Stock Publishers. m/s. 57–58. ISBN 9781620329887.
The Roman Catholic and English Methodist churches both pray for the dead. Their consensus statement confirms that "over the centuries in the Catholic tradition praying for the dead has developed into a variety of practices, especially through the Mass. ... The Methodist church ... has prayers for the dead ... Methodists who pray for the dead thereby commend them to the continuing mercy of God."
CS1 maint: unrecognized language (link) - ^ Jerry L. Walls (2012). Purgatory: The Logic of Total Transformation. Oxford University Press. m/s. 61. ISBN 9780199732296.
- ^ Cook, Joseph (1883). Advanced thought in Europe, Asia, Australia, &c. London: Richard D. Dickinson. m/s. 41. Dicapai pada 10 April 2014.
Anglican orthodoxy, without protest, has allowed high authorities to teach that there is an intermediate state, Hades, including both Gehenna and Paradise, but with an impassable gulf between the two.
- ^ Gould, James B. (4 August 2016). Understanding Prayer for the Dead: Its Foundation in History and Logic (dalam bahasa English). Wipf and Stock Publishers. m/s. 50. ISBN 9781532606014.CS1 maint: unrecognized language (link)
- ^ Olivier Clément, L'Église orthodoxe. Presses Universitaires de France, 2006, Section 3, IV
- ^ (Inggeris) Megan McLaughlin, Consorting with Saints: Prayer for the Dead in Early Medieval France (Cornell University Press 1994 ISBN 978-0-8014-2648-3), p. 18
- ^ (Inggeris) LeGoff, Jacques. The Birth of Purgatory. Trans. Arthur Goldhammer. Chicago: U of Chicago P, 1986, Pg 362–66
- ^ Lih. 2 Makabe:12:42–44
- ^ a b c (Inggeris) Purgatory in Encyclopædia Britannica
- ^ (Inggeris) Waterworth (editor), J. "The Council of Trent, Decree concerning the Canonical Scriptures". Hanover Historical Texts Project. Dicapai pada 18 February 2015.CS1 maint: extra text: authors list (link)
- ^ (Inggeris) Council of Trent. "Decree concerning the Canonical Scriptures". EWTN. Dicapai pada 18 February 2015.
- ^ (Inggeris) "1032". Catechism of the Catholic Church. Dicapai pada 18 February 2015.
- ^ (Inggeris) Discourse to the Greeks concerning Hades, paragraph 1
- ^ (Inggeris) Newman was working on An Essay on the Development of Christian Doctrine since 1842 (Encyclopædia Britannica 1911 Diarkibkan 2014-10-24 di Wayback Machine, i.e. Encyclopaedia Britannica Eleventh Edition, and sent it to the printer in September 1845 (Ian Turnbull Kern, Newman the Theologian - University of Notre Dame Press 1990 ISBN 9780268014698, p. 149). He was received into the Catholic Church on 9 October of the same year.
- ^ (Inggeris) John Henry Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine, chapter 2, section 3, paragraph 2.
- ^ Homilies on Exodus 6:4. See (Inggeris) Testify: Origen, Martyria and the Christian Life Diarkibkan 2016-10-29 di Wayback Machine, Article (sunting|bincang|sejarah|laman dipaut|pantau|log) Patrologiae cursus completus
- ^ Sermons on Ps. 117(116), Sermon 3, 14-15. See Article (sunting|bincang|sejarah|laman dipaut|pantau|log) http://www.documentacatholicaomnia.eu/02m/0339-0397,_Ambrosius,_In_Psalmum_David_CXVIII_Expositio,_MLT.pdf#page=16
- ^ Dialogues, Book 4, Ch. 39. See Article (sunting|bincang|sejarah|laman dipaut|pantau|log) http://www.documentacatholicaomnia.eu/01p/0590-0604,_SS_Gregorius_I_Magnus,_Dialogorum_Libri_IV-De_Vita_et_Miraculis_...,_LT.pdf#page=159
- ^ Denzinger, The Sources of Catholic Dogma (Enchiridion Symbolorum), 456, 464, 693, 840, 983, 998.
- ^ (Inggeris) Catechism of the Catholic Church, 1030–1031
- ^ a b (Inggeris) Audience of 4 August 1999
- ^ (Inggeris) Catechism of the Catholic Church, 1021–1022
- ^ (Inggeris) David L. Schindler, Love Alone Is Credible (Eerdmans 2008 ISBN 978-0-8028-6247-1), p. 222
- ^ (Inggeris) CCC 1030–1032
- ^ (Inggeris) CCC 1030–1032
- ^ (Inggeris) Purgatory is only for those destined towards heaven, and is viewed as a preparation for the Beautific Vision. CCC 1054
- ^ (Inggeris) CCC 1854
- ^ (Inggeris) CCC 1857
- ^ (Inggeris) CCC 1861
- ^ a b c (Inggeris) __P6C.HTM CCC 1863
- ^ (Inggeris) CCC 1875
- ^ (Inggeris) Jack Mulder, Kierkegaard and the Catholic Tradition: Conflict and Dialogue (Indiana University Press 2010 ISBN 978-0-25335536-2), pp. 182–183
- ^ (Inggeris) Benedict J. Groeschel, A Still, Small Voice (Ignatius Press 1993 ISBN 978-0-89870436-5)
- ^ a b c (Inggeris) Catholic Encyclopedia on Purgatory
- ^ Mazmur 66:12
- ^ (Inggeris) Jean-Yves Lacoste, Encyclopedia of Christian Theology (Taylor and Francis, 2004 ISBN 978-1-57958-250-0), p. 1322
- ^ (Inggeris) "Each one will be presented to the Judge exactly as he was when he departed this life. Yet, there must be a cleansing fire before judgment, because of some minor faults that may remain to be purged away. Does not Christ, the Truth, say that if anyone blasphemes against the Holy Spirit he shall not be forgiven 'either in this world or in the world to come'(Mt. 12:32)? From this statement we learn that some sins can be forgiven in this world and some in the world to come. For, if forgiveness is refused for a particular sin, we conclude logically that it is granted for others. This must apply, as I said, to slight transgressions." Gregory the Great [regn. A.D. 590–604], Dialogues, 4:39 (A.D. 594).
- ^ (Inggeris) "For if on the foundation of Christ you have built not only gold and silver and precious stones (1 Cor.,3); but also wood and hay and stubble, what do you expect when the soul shall be separated from the body? Would you enter into heaven with your wood and hay and stubble and thus defile the kingdom of God; or on account of these hindrances would you remain without and receive no reward for your gold and silver and precious stones; neither is this just. It remains then that you be committed to the fire which will burn the light materials; for our God to those who can comprehend heavenly things is called a cleansing fire. But this fire consumes not the creature, but what the creature has himself built, wood, and hay and stubble. It is manifest that the fire destroys the wood of our transgressions and then returns to us the reward of our great works." Origen, Homilies on Jeremias, PG 13:445, 448 ( A.D. 244).
- ^ (Inggeris) "When he has quitted his body and the difference between virtue and vice is known he cannot approach God till the purging fire shall have cleansed the stains with which his soul was infested. That same fire in others will cancel the corruption of matter, and the propensity to evil." Gregory of Nyssa, Sermon on the Dead, PG 13:445,448 (ante A.D. 394).
- ^ (Inggeris) Catholic Encyclopedia on "poena sensus"
- ^ (Inggeris) CCC 1031
- ^ (Inggeris) CCC 1473. In his 2007 encyclical Spe salvi, Pope Benedict XVI applies to the purgation of souls after death the words of Paul the Apostle in 1 Corinthians 3:12–15Template:Bibleverse with invalid book about some being "saved, but only as through fire"; in the encounter with Christ after death, Christ's "gaze, the touch of his heart heals us through an undeniably painful transformation 'as through fire'. But it is a blessed pain, in which the holy power of his love sears through us like a flame, enabling us to become totally ourselves and thus totally of God" (Spe salvi, 46–47).
- ^ (Inggeris) CCC 1472
- ^ Article (sunting|bincang|sejarah|laman dipaut|pantau|log) Cabrol and Leclercq, Monumenta Ecclesiæ Liturgica. Volume I: Reliquiæ Liturgicæ Vetustissimæ (Paris, 1900–2) pp. ci–cvi, cxxxix.
- ^ (Inggeris) CCC 1032
- ^ (Inggeris) __P4G.HTM CCC 1471
- ^ (Inggeris) CCC 1479
- ^ a b (Inggeris) Indulgences in the Church | Catholic-Pages.com
- ^ http://pressandpolicy.bl.uk/Press-Releases/British-Library-unrolls-Henry-VIII-s-pious-past-25d.aspx
- ^ (Inggeris) Starkey, D. 2009. Henry Virtuous Prince p.202 Harper Perennial. ISBN 9780007247721
- ^ (Inggeris) Pope Paul VI, Apostolic Constitution on Indulgences Diarkibkan 2018-10-04 di Wayback Machine, norm 5
- ^ (Inggeris) Section "Abuses" in Catholic Encyclopedia: Purgatory
- ^ (Inggeris) Catholic Encyclopedia: Reformation
- ^ (Inggeris) King John by Warren. Published by the University of California Press in 1961. p. 11
- ^ (Inggeris) General Audience Talk, 12 January 2011
- ^ Lih. Kompendium Katekismus Gereja Katolik (PDF), Diterjemahkan dari Catechismo della Chiesa Cattolica oleh Harry Susanto, SJ., versi daring diambil dari Situs Vatikan (ed. 2013, VIII), KWI dan Penerbit Kanisius, m/s. 75–76, ISBN 978-979-21-2184-1CS1 maint: others (link)
- ^ (Inggeris) Compendium of the Catechism of the Catholic Church, 210–211
- ^ (Inggeris) Catechism of the Catholic Church, sections 1020–1032
- ^ (Inggeris) Catechism of the Catholic Church, section 1054
- ^ (Inggeris) Catechism of the Catholic Church, sections 1472–1473
- ^ (Inggeris) Decree concerning Purgatory Diarkibkan 2019-04-08 di Wayback Machine
- ^ (Inggeris) Denzinger 1304 – old numbering 693
- ^ (Inggeris) Treaty of Brest, Article 5
- ^ Doctrine
- ^ (Inggeris) Saint Alphonsa Syro-Malabar Catholic Church
- ^ (Inggeris) Answers from the Bishop
- ^ (Inggeris) All Souls Day and Purgatory in the Syriac Tradition
- ^ (Inggeris) Death, The Threshold to Eternal Life
- ^ (Inggeris) John Meyondorff, Byzantine Theology (London: Mowbrays, 1974) pp. 220–221. "At death man's body goes to the earth from which it was taken, and the soul, being immortal, goes to God, who gave it. The souls of men, being conscious and exercising all their faculties immediately after death, are judged by God. This judgment following man's death we call the Particular Judgment. The final reward of men, however, we believe will take place at the time of the General Judgment. During the time between the Particular and the General Judgment, which is called the Intermediate State, the souls of men have foretaste of their blessing or punishment" (The Orthodox Faith).
- ^ (Inggeris) Michael Azkoul, What Are the Differences Between Orthodoxy and Roman Catholicism?
- ^ (Inggeris) Ted A. Campbell, Christian Confessions: a Historical Introduction (Westminster John Knox Press 1996 ISBN 0-664-25650-3), p. 54
- ^ a b (Inggeris) Confession of Dositheus Diarkibkan 2009-02-21 di Wayback Machine, Decree 18
- ^ (Inggeris) Catechism of St. Philaret of Moscow, 372 and 376; Constas H. Demetry, Catechism of the Eastern Orthodox Church p. 37; John Meyondorff, Byzantine Theology (London: Mowbrays, 1974) p. 96; cf. "The Orthodox party ... remarked that the words quoted from the book of Maccabees, and our Saviour's words, can only prove that some sins will be forgiven after death" (OrthodoxInfo.com, The Orthodox Response to the Latin Doctrine of Purgatory)
- ^ (Inggeris) What Are the Differences Between Orthodoxy and Roman Catholicism?; Constas H. Demetry, Catechism of the Eastern Orthodox Church p. 37
- ^ (Inggeris) Orthodox Confession of Faith Diarkibkan 1999-04-21 di Wayback Machine, questions 64–66.
- ^ (Inggeris) In both the Greek and Slavonic Euchologion, in the canon for the departure of the soul by St. Andrew, we find in Ode 7: "All holy angels of the Almighty God, have mercy upon me and save me from all the evil toll-houses" (Evidence for the Tradition of the Toll Houses found in the Universally Received Tradition of the Church). Diarkibkan 2010-11-26 di Wayback Machine "When my soul is about to be forcibly parted from my body's limbs, then stand by my side and scatter the counsels of my bodiless foes and smash the teeth of those who implacably seek to swallow me down, so that I may pass unhindered through the rulers of darkness who wait in the air, O Bride of God" (Octoechos, Tone Two, Friday Vespers). Diarkibkan 2014-04-22 di Wayback Machine "Pilot my wretched soul, pure Virgin, and have compassion on it, as it slides under a multitude of offences into the deep of destruction; and at the fearful hour of death snatch me from the accusing demons and from every punishment" (Ode 6, Tone 1 Midnight Office for Sunday). Diarkibkan 2014-04-22 di Wayback Machine
- ^ (Inggeris) Death and the Toll House Controversy
- ^ (Inggeris) "There are three categories of men; the wholly pious and the arch-sinners are not purified, but only those between these two classes" (Jewish Encyclopedia: Gehenna)
Pautan luar
- Purgatory. Encyclopædia Britannica Online. 2009.