Yawadwipa ( IAST : yāvaka dvipa ; Bahasa Jawa : ꦪꦮꦢ꧀ꦮꦶꦥ , translit. Yawadwipa , har. 'Island barley') adalah dwipa ("pulau") dunia melalui darat, seperti yang dibayangkan dalam kosmologi Hinduisme , dan Buddhisme , yang merupakan wilayah di mana orang biasa hidup.
Peta Yawadwipa ( Jawa ) berhampiran Suwarnadwipa ( Sumatera ), sekitar tahun 1812.
Perkataan yāvadvīpa secara harfiah merujuk kepada "pulau barli", dengan yāva yang bermaksud barli (Hordeum vulgare) sebguah anggota suku bijirin (Poaceae) layaknya padi, gandum, jagung, barli, barli, dan sorgum (cantel). Dvīpa bermaksud "lau".
Etimologi
Laksmana , Rama dan Shinta di Balet Ramayana di Prambanan .
Asal nama "Java" dapat ditelusuri ke sebuah kronik Sanskrit yang menyebutkan sebuah pulau yang disebut yavadvip (a) ( dvipa bermaksud "pulau", dan yava bermaksud "barli" atau juga "biji-bijian"). Sama ada bijirin ini adalah barli ( Setaria italica ) atau padi , keduanya banyak ditemukan di pulau ini dalam pengaruh pra-India. Mungkin pulau ini mempunyai banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan asal kata ja yang bermaksud "jauh". Yavadvipa disebut dalam epikdari India , Ramayana . Sugriwa , panglima wanara (orang kera) dari tentera Sri Rama , mengirim utusannya ke Yavadvip ("Pulau Jawa") untuk mencari Dewi Shinta . Kemudian berdasarkan sastera India, terutama sastera Tamil, ia disebut nama Sanskrit yāvaka dvīpa ( dvīpa = pulau).
Saran lain ialah kata "Java" berasal dari kata akar dalam bahasa Proto-Austronesia , Awa atau Yawa (serupa dengan kata Awa'i (Awaiki) atau Hawa'i ( Hawaiki ) yang digunakan di Polinesia , terutama Hawaii ) yang bermaksud "rumah".
Pulau bernama Iabadiu atau Jabadiu disebutkan dalam karya Ptolemy bernama Geographia yang dibuat sekitar 150 masehi di Kekaisaran Romawi. Iabadiu dikatakan berarti "pulau jelai", juga kaya akan emas, dan mempunyai kota perak bernama Argyra di ujung Baratnya. Nama ini mengindikasikan Jawa, dan kelihatannya berasal dari nama Hindu Java-dvipa (Yawadvipa).
Laporan tahunan dari Songshu dan Liangshu merujuk kepada Jawa sebagai She-po (abad ke-5 M), He-ling (640-818 M), kemudian menyebutnya She-po lagi hingga Dinasti Yuan (1271-1368), di mana mereka mulai sebut Zhao-Wa. Menurut laporan Ma Huan (yaitu Yingya Shenlan ), orang Cina menyebut Jawa sebagai Chao-Wa, dan pulau itu sebelumnya disebut She-pó ( She-bó). Ketika John dari Marignolli (1338-1353) kembali dari China ke Avignon, dia berhenti di Kerajaan Saba , yang menurutnya memiliki banyak gajah dan diperintah oleh seorang ratu; nama Saba mungkin merupakan tafsirannya terhadap She-bó. Perkataan "Saba" itu sendiri berasal dari kata Jawa kawi, yaitu Saba yang bermaksud "pertemuan" atau "pertemuan". Oleh itu perkataan itu dapat ditafsirkan sebagai "tempat pertemuan". Menurut Fahmi Basya, kata itu berarti "tempat pertemuan", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa".
Pensejarahan
Ketahui lebih lanjut
Bahagian ini memerlukan pengembangan. |
Dalam epos Ramayana yang ditulis oleh Walmiki disebutkan nama Yavadvipa, atau Pulau Yawa (jelai). Yavadvipa atau Bhumijava (tanah Jawa) yang bersejarah. Menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S., Jilid XV, bahagian 3, m.s. 79, kebiasaan bangsa India kuno untuk menyebut nama tempat sesuai dengan hasil bumi, umpamanya jewawut dalam bahasa Sanskrit yawa menyebabkan Pulau Jewawut disebut yawadwipa (pulau Jawa), orang Kamboja (Khmer) menyebut mereka sebagai Chvea, orang Cina menyebut sebagai Shepo, Chopo atau Chao-wa, orang Arabdisebut sebagai Jawi atau Jawah, dan orang Melayu menyebutnya sebagai Bhumijawa. Orang asli Jawa paling sering menyebut tanah dan negaranya hanya sebagai Jawa (Jawi). Para pakar bersetuju, epik yang ditulis oleh Valmiki berlaku sekurang-kurangnya pada abad ke-5 hingga abad ke-4 SM.
Toponin yang sama dengan Yavadvipa, iaitu Iabadiou, ditemui lagi di atlas yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus Geographike Gypehegesis yang ditulis sekitar abad ke-150 Masihi. Ptolemy menyusun atlasnya dengan memetik pendahulunya seperti Marinus of Tire.
Dalam Geografik disebutkan, pada waktu itu kapal-kapal dari Alexandria di Laut Mediterania telah berlayar secara tetap dari Teluk Parsi ke Bandar Baybaza di Cambay, India dan Majuri di Kochin , India Selatan.
Ptolomes mengatakan bahawa dari sana kapal meneruskan perjalanan ke pelabuhan di pantai timur India ke pulau-pulau Aurea Chersonnesus. Di pulau-pulau, kapal akan berhenti di Barousae, Sinda, Sabadiba, dan termasuk Iabadiou.
Ptolemy juga menulis Zabai, tempat yang dikatakannya 20 hari perjalanan dari Aurea Chersonnesus. Dia juga menyebut tempat lain bernama Argyre yang terletak di hujung barat Iabadiou. Argyre atau Argyros dalam bahasa Yunani kuno bermaksud kota perak.
Ahli sejarah Sartono Kartodirdjo mengesyaki bahawa Argyre yang disebut oleh Ptolemy adalah 'terjemahan' Merak, yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.
Peta Yawadwipa (Jawa) dekat Suwarnadwipa (Sumatra), sekitar tahun 1812.
Kata yāvadvīpa secara harfiah merujuk pada "pulau jelai". yāva berarti jelai (Hordeum vulgare), di mana jelai adalah anggota suku padi-padian (Poaceae). Di dalamnya termasuk tumbuhan seperti padi, gandum, jagung, jelai, jewawut, serta sorgum (cantel). Dvīpa memiliki arti ""
Etimologi
Laksmana, Rama dan Shinta dalam Sendratari Ramayana di Prambanan.
Asal mula nama "Jawa" dapat dilacak dari kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama yavadvip(a) (dvipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian"). Apakah biji-bijian ini merupakan jewawut (Setaria italica) atau padi, keduanya telah banyak ditemukan di pulau ini pada masa sebelum masuknya pengaruh India. Boleh jadi, pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jaú yang berarti "jauh". Yavadvipa disebut dalam epik asal India, Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yavadvip ("Pulau Jawa") untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau).
Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, Awa atau Yawa (Mirip dengan kata Awa'i (Awaiki) atau Hawa'i (Hawaiki) yang digunakan di Polynesia, terutama Hawaii) yang berarti "rumah".
Pulau bernama Iabadiu atau Jabadiu disebutkan dalam karya Ptolemy bernama Geographia yang dibuat sekitar 150 masehi di Kekaisaran Romawi. Iabadiu dikatakan berarti "pulau jelai", juga kaya akan emas, dan mempunyai kota perak bernama Argyra di ujung Baratnya. Nama ini mengindikasikan Jawa, dan kelihatannya berasal dari nama Hindu Java-dvipa (Yawadvipa).
Berita tahunan dari Songshu dan Liangshu menyebut Jawa sebagai She-po (abad ke-5 M), He-ling (tahun 640-818 M), lalu menyebutnya She-po lagi sampai masa Dinasti Yuan (1271-1368), dimana mereka mulai menyebut Zhao-Wa. Menurut catatan Ma Huan (yaitu Yingya Shenlan), orang China menyebut Jawa sebagai Chao-Wa, dan dulunya pulau ini disebut She-pó (She-bó). Saat John dari Marignolli (1338-1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu; nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya untuk She-bó. Kata "Saba" sendiri berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu Saba yang berarti "pertemuan" atau "rapat". Dengan demikian kata itu dapat diartikan sebagai "tempat bertemu". Menurut Fahmi Basya, kata tersebut berarti "tempat bertemu", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa-bangsa".
Historiografi
Pelajari selengkapnya
Bagian ini memerlukan pengembangan. |
Dalam epos Ramayana yang ditulis oleh Walmiki disebutkan nama Yavadvipa, atau Pulau Yawa (jelai). Yavadvipa atau Bhumijava (tanah Jawa) yang bersejarah. Menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S., Jilid XV, bahagian 3, m.s. 79, kebiasaan bangsa India kuno untuk menyebut nama tempat sesuai dengan hasil bumi, umpamanya jewawut dalam bahasa Sanskrit yawa menyebabkan Pulau Jewawut disebut yawadwipa (pulau Jawa), orang Kamboja (Khmer) menyebut mereka sebagai Chvea, orang Cina menyebut sebagai Shepo, Chopo atau Chao-wa, orang Arab menyebut sebagai Jawi atau Jawah, dan orang Melayu menyebutnya sebagai Bhumijawa. Orang Jawa asli paling sering menyebut tanah dan negara mereka hanya sebagai Jawa (Jawi). Para ahli setuju, epos yang ditulis oleh Walmiki itu terjadi sekurangnya pada abad ke 5 hingga abad ke-4 sebelum masehi.
Toponin yang sama dengan Yavadvipa yakni Iabadiou kembali ditemukan dalam atlas buatan Claudius Ptolomeus Geographike Gypehegesis yang ditulis sekitar abad 150 masehi. Ptolomeus menyusun atlasnya dengan mengutip pendahulunya seperti Marinus dari Tyre.
Dalam Geographike itu disebut, zaman itu kapal-kapal dari Aleksandria di Laut Mediterania sudah berlayar secara rutin dari Teluk Persia menuju Bandar Baybaza di Cambay, India dan Majuri di Kochin, India Selatan.
Ptolomes menyebut dari sanalah kapal-kapal tersebut melanjutkan pelayaran ke bandar-bandar di pantai timur India hingga ke kepulauan Aurea Chersonnesus. Di kepulauan itu kapal-kapal bakal singgah di Barousae, Sinda, Sabadiba, dan termasuk Iabadiou.
Ptolomeus juga menulis Zabai, sebuah tempat yang disebutnya berjarak 20 hari perjalanan dari Aurea Chersonnesus. Ia juga menyebut sebuah tempat lain bernama Argyre yang terletak di ujung barat Iabadiou. Argyre atau Argyros dalam bahasa Yunani kuno yang berarti kota perak.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo, menduga Argyre yang dimaksud oleh Ptolemeus itu adalah ‘terjemahan’ dari Merak yang memang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.
Kewujudan
Raja Medang Gana, Sri Kripawarman bergelar Wan Pa telah melancarkan kempen penaklukan ke seluruh Semenanjung Emas ketika era ini. Baginda telah membahagikan bangsa Melayu kepada dua iaitu;-
- Jawa (merujuk kepada keseluruhan bangsa Melayu)
- Jawa (bangsa yang masih menggunakan nama Jawa sehingga sekarang)
Sri Kripawarman telah menjadi pengasas keluarga Diraja Kelantan yang paling lama dalam sejarah dengan berterusan hingga awal abad ke-17.
Keluarga
Sri Kripawarman mempunyai 2 orang saudara yang terkenal iaitu;
- Maliniwarman bergelar Wan Malini
- Kaundinyawarman bergelar Wan Kaundinya yang mengasaskan Funan
Sri Kripawarman telah menakluk seluruh Nusantara dan ianya kekal untuk beberapa abad.
Kejatuhan
Pada abad ke-3 M, Empayar Yawadwipa telah runtuh akibat diserang oleh Funan. Namun, empayar ini meninggalkan kesannya di dalam perabadan Asia Tenggara.
Rekod
Terdapat banyak rekod yang menceritakan tentang Yawadwipa seperti:
Vayu Purana (Sanskrit)
Buku ini disusun pada zaman Gupta (320-647) yang menceritakan tentang Jambuwidpa (Asia Tenggara). Kenyataan tersebut berbunyi: Di sana terdapat enam lagi wilayah-wilayah Jambuwidpa dalam pelbagai bentuk iaitu Angawidpa, Malayadwipa dan Varahadwipa...Yamadwipa pula ialah penuh dengan lombong-lombong, ada satu bukit di sini terkenal dengan nama Dyutiman, punca sungai-sungai dan emas...
Bahmanda Purana (Sanskrit)
Buku ini menceritakan tentang beberapa dwipa di Jambuwidpa iaitu Yawadwipa, Malayadwipa, Sankhadwipa, Kusadwipa dan Varahadwipa. Yawadwipa telah dinyatakan sebagai lombong pelbagai jenis permata dan sebuah bukit bernama Dyutiman yang merupakan punca kebanyakan sungai dan emas. Dalam buku ini juga dijelaskan kewujudan Kusadwipa tetapi Angadwipa telah hilang. R.Braddel yang merujuk kepada seorang pengembara bernama Jayaswal dan telah mengatakan bahawa terdapat beberapa lagi dwipa yang terletak di Bharatavarsha (ke arah utara India) seperti Indrawipa, Kaseru/Kaserumat, Nagadwipa, Ghabastiman, Ghanharva dan Varuna.
Manimegalai (Tamil)
Terdapat satu syair bertajuk Manimegalai yang menyebut tentang Kota Nagapuram (Nagapura) dalam Savaka-Nadu iaitu Yawadwipa dalam Bahasa Tamil. Dua orang Raja Nagapuram dikatakan berasal daripada Indra.
Ramanaya
Buku ini ada menulis tentang beberapa fakta mengenai Yawadwipa dalam bahagian syair keempat daripada Ramayana naskhah Bombay. Ianya membicarakan tentang arahan daripada Sugriwa (Hanuman) kepada kumpulannya supaya pergi ke seluruh pelusuk dunia untuk mencari Sita Dewi yang hilang. Syair tersebut berbunyi:- Yatnavanto Yavadvipam, Saptarajyopasobhitam, Suvarnarupyakadvipam, Suvarnakaramanditam, Yavadvipam-antikaramnya, Sisiro nama parvatah, Divam sprsati srngena, Devadanava-sevitah.
Maksudnya: Walau bagaimanapun, lawatilah Yawadwipa, tujuh kerajaan menjadi hiasan, itulah tanah emas dan perak, banyak berlombong bertukang emas, di sebelah sana Yawadwipa, terletak gunung bernama Sisiro, puncaknya menyapu awan, dikunjungi danava.
Geographia
Buku ini ditulis oleh Ptolemi dalam tahun 150 Masihi. Ia dinyatakan bahawa penulisan bukunya ini berdasarkan kepada Marinos dari Tyre yang telah dibaiki dan ditambah baik dengan mengambil maklumat lebih lanjut yang dikumpul oleh beliau sendiri. Buku Marinos itu pula dihasilkan pada 120 Masihi dan ia dihasilkan berdasarkan buku seorang nakhoda yang juga seorang pengembara bernama Alexander yang dihasilkan pada tahun 75 Masihi. Buku Alexander dan Marinos ini telah hilang dan hanya diketahui melalui dari petikan-petikan yang dibuat oleh Ptolemi dalam buku Geographia.
Menurut Ptolemi, Semenanjung disebut dengan nama Chryse Chersonesos yang bermaksud Semenanjung Emas dan beliau telah memperihalkan secara terperinci nama kota-kota, sungai-sungai dan gunung-gunung yang ada di Asia Tenggara. Di sebelah selatan dari Semenanjung Emas, terletak sebuah pulau yang bernama Labadiou (Pulau Jelai). Ibu empayar kerajaan bernama Argyre (Kota Perak) yang terletak di hujung barat Labadiou dan terletak di sebelah timur dari Semenanjung Emas. Labadiou adalah satu kawasan yang subur dan banyak menghasilkan emas.
Hou Han Shu
Buku ini disusun dalam abad ke-5 M. Dalam buku ini terdapat kisah satu perwakilan yang telah tiba di Yetio pada tahun 132 M. Yetio ini terletak bersempadan dengan Jihnan. Perwakilan ini dihantar oleh Raja Tio-pien dan menerima hadiah-hadiah daripada Maharaja China iaitu satu mohor emas dan pita berwarna ungu.
Saddharmasmrityupasthana Sutra (Sanskrit)
Buku ini adalah mengenai agama Buddha dalam bahasa Sanskrit. Ianya telah diterjemah ke dalam bahasa Cina pada tahun 539 M oleh seorang Brahman yang datang dari Benares. Menurut Sharat Chandra Das, Asvagosha ada menulis satu tafsiran mengenai sutra ini. Usia sutra ini ialah sama usia dengan Zaman Kanishka pada akhir abad pertama Masihi. Dalam sutra ini mengandungi satu bahagian petikan yang menggambarkan tentang Jambuwidpa (Asia Tenggara).