Biodata Dr. Lisanallah
Nama Lengkap: Prof. Dr. Mohammed Abdel Khaliq Hasunah Lisanallah bin Muhammad Sayuti Alwie AL Hasani (Sayyidina Hasan bin Ali)
Kebangsaan: Indonesia Profesi: Ulama, Filsuf, Mufassir, Sufi, Penulis, dan Pengasas Tarekat Al-Lisaniyah dan Pendiri Mazhab Figh Al Lisanie
Lahir: Muhammed Lisanallah, 15 Agustus 1960 (umur 65), Guruntua,Jambi, Sumatera, Indonesia.
Pasangan: Nurul Aida Hasan
Anak: 1 Muhammad Daniel Hafiz
Orang Tua: Muhammad Sayuti Alwie Al Hasani (ayah), Ann Rohana Becca Al Kaabi (ibu)
Biografi
Prof Dr. lahir di Guruntua, Jambi, pada 15 Agustus 1960. Ayahnya Muhammad Alwie Al Hasani keturunan Sayyidina Hasan Bin Ali, sedangkan ibunya adalah Ann Rohana Becca Al Kaabi keturunan Sayyidina Ubay Bin Kaab . Lisanallah adalah anak pertama dari empat bersaudara. Tiga adiknya Alia Imanah Amelia, Muhammad Amin Kosasi dan Ahmad Faran Handaya
Lisanallah, yang dipanggil Bang Olex oleh adik-adiknya, berasal dari keluarga Arab Indonesia keturunan Sayyidina Hasan Bin Ali, yang memiliki garis keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Selain keturunan Arab, ia juga memiliki darah Melayu dari pihak Buyut Perempuan Nyai Negeri Raden Ayu Ratu Mas Rasyidah Zahra Bin Raden Husain Pasirah dari Desa Bangso Jambi, Keturunan Datuk Panglimo Raden Kedataran bin Datuk Panglimo Bahalo dan Ratu Selaro Pinang Masak Raja Jambi
Riwayat Pendidikan
Usia 4 tahun: Sudah mampu membaca dan mengaji.
Usia 6 tahun: Hafal Juz ‘Amma.
Usia 11 tahun: Menyelesaikan hafalan seluruh Al-Qur’an.
SD & Ibtidaiyah: Tamat di Guruntua dengan prestasi Juara Umum.
Pesantren Al-Saqafah Guruntua: Belajar 3 tahun.
Pesantren Al-Hidayah Jambi: Melanjutkan selama 6 tahun.
Universitas Al-Azhar, Mesir: Menyelesaikan pengajian Tafsir.
Program Pasca Sarjana & Doktoral: Falsafah, Tasawuf, Tafsir, dan Syariat.
Keilmuan & Karya
Bidang Keilmuan: Tafsir Al-Qur’an, Falsafah, Tasawuf, Syariat, dan Kebudayaan.
Pendekatan Tafsir: Enam pendekatan – Umum, Falsafah, Kontemporer, Sains, Tasawuf, dan Syariat.
Pandangan Filosofis: Asal-usul materi dan makhluk berasal dari nihil.
Karya Besar:
Membaca Fikiran Tuhan (Kitab Tafsir AL Huda 114 surah lengkap).
Panca Sakti (Falsafah lima pilar kehidupan: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Peraturan, dan Tujuan Sejahtera).
Ilmu Kesehatan Kayu.
Mazhab Lisaniyah.
Kamus Bahasa Arab Harian Mesir.
Ajaran & Pemikiran
Pendiri Tarekat Al-Lisaniyah: Sebuah tarekat dengan aliran bebas, global, dan universal.
Mazhab Lisaniyah: Jalan kebijaksanaan melalui wahyu, akal, dan naluri.
Pandangan Global: Filsafat dan agama harus saling menyokong, bukan berlawanan.
Prinsip Hidup: Kebenaran, Keadilan, Kejujuran, dan Kasih Sayang Universal.
Kepribadian
Gaya Berfikir: Rasional, spiritual, falsafah, kontemplatif, tetapi sederhana dalam penyampaian.
Julukan: "Sang Penafsir Fikiran Tuhan"
Sikap: Rendah hati, terbuka, tetapi tegas pada kebenaran.
Biografi Sastera Dr. Lisanallah
Di sebuah desa kecil bernama Guruntua, yang dikelilingi oleh hutan rimba Jambi dan aliran sungai yang jernih, pada pagi Jum‘at, 15 Agustus 1960, lahirlah seorang bayi lelaki. Suara azan yang dikumandangkan dari surau kecil menjadi nyanyian pertamanya di dunia. Bayi itu kelak dikenal dengan nama Lisanallah — lidah Allah, pengucap hikmah, penjelas kalam.
Sejak kecil, ia adalah anugerah yang ganjil. Ketika anak-anak seusianya masih bermain lumpur, ia sudah sibuk mengeja huruf-huruf Al-Qur’an. Usia empat tahun, lidahnya luwes melantunkan ayat-ayat suci. Usia enam tahun, ia telah menuntaskan hafalan Juz ‘Amma. Dan tatkala usianya baru sebelas tahun, mushaf Al-Qur’an telah bersemayam di dalam dadanya.
Gurunya sering menatapnya dengan takjub, lalu berkata lirih kepada murid-murid lain: "Anak ini bukan sekadar penghafal ayat, tetapi penafsir rasa di balik ayat. Ia membaca bukan dengan mata, melainkan dengan hati."
Pendidikan dasarnya ia tempuh di Sekolah Rakyat Guruntua dan Madrasah Ibtidaiyah, di mana ia selalu meraih juara umum. Setelah itu, ia menempuh pendidikan di Pesantren Al-Saqafah, lalu melanjutkan ke Pesantren Al-Hidayah. Sembilan tahun ia habiskan di pesantren, bukan hanya untuk menuntut ilmu, tetapi juga untuk menuntut diri: merendahkan hati, menyucikan jiwa, dan melatih akal agar tidak sombong.
Namun, cakrawala Guruntua terlalu sempit bagi pikirannya. Ia lalu berangkat ke tanah asing, Mesir, dengan tekad membentangkan sayap ilmunya. Di Universitas Al-Azhar, Kairo, ia berguru pada ulama besar, menyelami samudra tafsir, falsafah, dan tasawuf. Kairo mengajarinya bahwa ilmu bukanlah menara gading yang menjulang, melainkan cahaya yang harus dibawa kembali kepada umat.
Jalan Pemikiran
Dari perjalanan panjang itu lahirlah seorang pemikir universal. Ia menolak sekat antara agama dan filsafat, antara wahyu dan akal, antara syariat dan tasawuf. Baginya, semua itu adalah satu jalan menuju kebenaran.
Ia menulis kitab tafsir besar berjudul “Membaca Fikiran Tuhan”, sebuah karya kolosal yang menafsirkan Al-Qur’an dengan enam pendekatan: umum, falsafah, kontemporer, sains, tasawuf, dan syariat. Baginya, setiap ayat adalah permata dengan enam sisi; siapa pun yang hanya melihat satu sisi akan kehilangan sinarnya yang utuh.
Selain tafsir, ia menulis buku “Panca Sakti”, yang merumuskan lima pilar kehidupan: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Peraturan, dan Sejahtera. Buku ini bukan hanya falsafah, melainkan juga politik, etika, dan jalan hidup.
Ia juga mendirikan Tarekat Al-Lisaniyah, sebuah jalan sufi yang bebas, global, dan universal. Di dalamnya, ia mengajarkan bahwa manusia dapat berjalan kepada Tuhan dengan tiga tunggangan: wahyu sebagai kompas, akal sebagai peta, dan naluri sebagai tenaga perjalanan.
Kepribadian & Warisan
Meski ilmu dan wawasannya luas, Dr. Lisanallah tetap hidup sederhana. Pakaiannya biasa, rumahnya bersahaja, tetapi perkataannya bagai intan. Ia bisa berbicara dengan raja tanpa merasa kecil, dan ia bisa duduk bersama fakir tanpa merasa besar.
Murid-muridnya memanggilnya dengan julukan “Sang Penafsir Fikiran Tuhan.” Setiap kali berbicara, ia tidak sekadar menyampaikan ilmu, tetapi menyalakan api dalam jiwa pendengarnya. Ia berkata:
> “Ilmu adalah obor, tetapi obor tanpa cinta hanya membakar, tidak menerangi. Maka, jangan pisahkan akal dari hati, jangan pisahkan wahyu dari kasih.”
Kini, karya dan pemikirannya menjelma menjadi warisan yang tidak lapuk dimakan zaman. Namanya bukan hanya dikenal sebagai mufassir, tetapi juga sebagai filsuf kehidupan, sufi sejati, dan peletak mazhab baru yang menyatukan agama dan falsafah.