Kawasan ramai penduduk | |
---|---|
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan. | |
Bahasa | |
Hokkien, Hakka, Teochew, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang lain. | |
Agama | |
Buddha 49%, Kristian Protestan 25%, Kristian Katholik 18%, Islam 5%, dan Konfusianisme 3%. | |
Kumpulan etnik berkaitan | |
Kaum majoriti suku Han dan kaum minoriti suku Hui di China. |
Cina Indonesia atau Tionghoa Indonesia ialah sebuah kelompok etnik imigrasi yang terdapat dalamRepublik Indonesia. Orang-orang cina Indonesia merupakan keturunan yang berhijrah dari China secara berkala kerana kemiskinan dan situasi politik di China.
Kronologi sejarah
Bangsa Cina telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan tertua berkenaan dengan ini telah ditulis oleh para agamawan, termasuk Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutamanya I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskrit lebih dahulu. Di Jawa, beliau belajar bahasa Sanskrit daripada seorang yang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para penghijrah Cina pun mulai berdatangan. Epigraf-epigraf dari Jawa menyatakan bahawa orang-orang Cina disebut-sebut sebagai penduduk asing yang menetap di samping suku-suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan subbenua India.
Asal kata
Orang-orang Cina di Indonesia dipanggil "Tionghoa", sepatah istilah yang dicipta sendiri oleh orang-orang yang berasal dari China di Indonesia. Istilah Tionghoa lebih sering dipakai karena kata "cina" dianggap kasar dan rasis
Jumlah penduduk Tiongkok di Indonesia
Dalam sebuah banci yang diadakan pada tahun 2000, ketika responden banci ditanyakan tentang asal suku mereka, hanya 1% daripada jumlah penduduk Indonesia mengaku diri sebagai orang Tionghoa.
Daerah asal di China
Kebanyakan orang Cina di Indonesia berasal dari bahagian tenggara China, khususnya suku-suku seperti yang berikut:
- Hakka
- Hainan
- Hokkien
- Kantonis
- Hockchia
- Teochew.
Daerah-daerah asal yang tertumpu pada pesisir tenggara China dapat difahami kerana sejak dari zaman Dinasti Tang, bandar-bandar pelabuhan di pesisir tenggara China memang telah menjadi bandar-bandar perdagangan yang besar, dengan Quanzhou tercatat sebagai bandar pelabuhan yang terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Pertumbuhan perdagangan saling di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Cina berasa perlu keluar belayar untuk berdagang. Destinasi utama mereka ketika itu ialah Asia Tenggara dan oleh kerana pelayaran amat bergantung kepada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Cina akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan mengahwini wanita setempat dan ada pula yang pulang ke China untuk terus berdagang.
Daerah tumpuan di Indonesia
Sebahagian besar daripada orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain yang juga ditetap mereka dalam jumlah yang besar selain daripada daerah perbandaran ialah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin serta beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Utara.
Terdapat juga pola penghunian yang berlainan dari segi kawasan penempatan di kalangan orang-orang Tionghoa yang bertuturan loghat-loghat Tionghoa yang berbeza:
- Hakka - Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon, dan Jayapura
- Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Manado
- Hokkien - Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutamanya di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, Maluku (terutamanya di Ambon dan Saumlaki[3]).
- Kantonis - Jakarta, Makassar, dan Manado.
- Hockchiu - Jawa (terutamanya di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, dan Surabaya).
- Teochew - Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Peranan Negara Dalam Pemulihan Status Kaum Tionghoa
Status dan hak orang Cina di Indonesia perlahan- lahan dipulihkan oleh undang-undang negeri, manakala negara tetap melarang pemakaian aksara cina dan bahasa mandarin dalam kegunaan awam bagi kaum cina dengan maksud asimilasi dan mengelakkan pengasingan kaum dalam bingkai kesatuan Bangsa Indonesia yang berakar dari semangat Sumpah Pemuda 1928.[4] Walaupun aksara Cina dan Bahasa Mandarin dilarang, kaum Cina tidak dilarang bercakap dengan dialek mereka sehingga ramai kaum Cina di Indonesia yang tidak seorang pun yang boleh berbahasa Mandarin, tetapi masih fasih bercakap dialek Cina seperti Hakka, Hokkien dan Tiochiu. Setelah era reformasi, posisi Bahasa Mandarin bagi kaum cina di Indonesia ialah setaraf sebagai Bahasa Internasional/Bahasa Asing, bukan sebagai bahasa ibunda. Kewajiban kaum Cina mempunyai SBKRI juga telah dihapuskan melalui Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 oleh Soeharto[5]
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali diperkenankan merayakan Tahun Baru Cina ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967, manakala ia juga mengakui kewujudan Konfusianisme sebagai agama rasmi keenam di Indonesia dengan ditandatanganinya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000[6], dalam keputusan itu pula ia membebaskan kaum Tionghoa menjalankan adat-istiadat dan budaya Tionghoa dan melindungi hak-hak kaum minoriti lainnya di Indonesia hingga ia digelari "Bapak Tionghoa Indonesia" berkat jasanya.[7] Ramai kaum Tionghoa menghormati Gusdur dengan menempatkan gambar dan papan rohnya di dalam Kelenteng. Salah satunya berada di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma[8], Gang Pinggir, Kawasan Pekan Cina Semarang. Selain itu kelenteng Boen Bio di Surabaya, Kelenteng Hok An Kiong di Desa Muntilan, Kelenteng Hok Tek Bio Purwokerto juga memberi penghormatan dengan menempatkan gambar atau papan roh (sinci) dalam bilik khas.
Pemakaian istilah pribumi/non-pribumi atau bumiputera/non-bumiputera yang telah diwarisi pada masa kolonial Belanda juga mengketepikan status kaum cina di kalangan masyarakat awam yang pada akhirnya tidak selaras dengan falsafah asas kenegaraan Indonesia iaitu Pancasila & Bhinneka Tunggal Ika, hingga pada masa Kepresidenan B. J. Habibie istilah pribumi-nonpribumi dihapuskan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi.[9]
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Tahun Baru Cina diisytiharkan menjadi salah satu Hari Cuti Kebangsaan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek.[10]
Pada masa Presiden SBY, sebutan awam istilah Orang Cina atau kaum Cina/China/Tjina diganti dengan Orang Tionghoa untuk membezakan Orang Cina di tanah besar cina dengan Orang Tionghoa yang sudah menetap dan beranak cucu di Indonesia, keputusan ini termaktub pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014.[11] Istilah "Tionghoa" didapat dari Bahasa Hokkien, salah satu dialek cina yang paling ramai dipakai oleh kaum Tionghoa di Indonesia. Tionghoa juga memiliki makna sama dengan "Zhōnghuá" dalam Bahasa Mandarin.
Nota kaki dan rujukan
- ^ Tan, Herman (2021-06-20). "Berapa Jumlah Etnis Tionghoa di Indonesia Berdasarkan Sensus Penduduk 2020". tionghoa info (dalam bahasa Indonesia). Dicapai pada 2023-06-25.
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
- ^ "Orang Tionghoa:Suatu pengantar tentang jejak keberadaan dan warisan budaya di Maluku". siwalimanews. Dicapai pada 2 Mei 2023.
- ^ Hilangkan Rasisme dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa dengan Asimilasi Integrasi Tionghoa-Indonesia Tanpa Paksaan
- ^ Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina
- ^ Ibad, Muhamad Nurul; Akhmad Fikri A. F (2012). Bapak Tionghoa Indonesia (ed. Cet. 1). Yogyakarta: Penerbit & distribusi, LKiS. ISBN 978-979-25-5345-1.
- ^ "Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma".
- ^ Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek
- ^ Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967
Pautan luar
- (Indonesia) Persatuan Islam Tionghoa Indonesia / Yasasan Karim Oey / Pengajian Muslim Tionghoa dan Keluarga
- (Indonesia) Forum Perbincangan Budaya Tionghoa dan Sejarah China
- (Indonesia) Cina lwn Tionghoa
- (Indonesia) Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupa Diarkibkan 2007-01-07 di Wayback Machine