Rencana ini mungkin boleh dikembangkan melalui teks yang diterjemah daripada rencana yang sepadan dalam Wikipedia Bahasa Jepun. (Jun 2022)
Klik [tunjuk] pada sebelah kanan untuk melihat maklumat penting sebelum menterjemahkan.
|
Pembaharuan Taika (大化の改新 , Taika no Kaishin) adalah Maharaja Kōtoku (孝徳天皇 Kōtoku-tennō) pada tahun 645 sebaik sahaja kematian Putera Shōtoku dan kekalahan Suku Soga (蘇我氏 Soga no uji) dalam peperangan yang menyatupadukan Jepun. Putera Mahkota Naka no Ōe (seorang yang nantinya di takhtakan sebagai Maharaja Tenji), Nakatomi no Kamatari, dan maharaja Kōtoku bersama-sama memulakan pembaharuan tersebut. Maharaja Kōtoku selepas itu mengambil nama "Taika" (大化), atau "Pembaharuan Besaran".
Pembaharuan dimulakan dengan pembaharuan tanah, berdasarkan idea Kongzi dan falsafah dari China,tetapi tujuan utama pembaharuan tersebut adalah untuk pemusatan yang besar dan untuk meningikan kuasa imperial, yang juga berdasarkan struktur kerajaan di China. Para pelajar dan wakil dihatar ke China untuk mempelajari segalanya sperti Sistem Penulisan Cina, kesusasteraan, agama, dan seni bina, hinga ke cara pemakanan. Walaupun pada masa kini, kesan dari pembaharuan tersebur masih dapat dilihat pada Budaya Jepun. Semua ini berlaku pada 600-an.
Latar belakang
Peristiwa Isshi
Suku Soga selama empat generasi, dimulai dari Soga no Iname, Soga no Umako, Soga no Emishi, dan Soga no Iruka memegang kekuasaan pemerintahan di Jepang. Kemarahan Nakatomi no Kamatari (nantinya disebut Fujiwara no Kamatari) memuncak akibat pemerintahan sewenang-wenang oleh suku Soga. Ia menginginkan pengembalian kekuasaan ke tangan Maharaja. Namun niatnya batal setelah mendekati Putera Karu karena merasakan dia bukanlah tokoh yang tepat.
Nakatomi no Kamatari kemudian mendekati Putera Naka no Ōe. Kisah pertemuan keduanya dalam pertandingan kemari telah menjadi kisah terkenal. Keduanya sama-sama belajar dari biksu Minabuchi no Shōan, dan akhirnya berdua menyusun rencana menggulingkan suku Soga. Putera Naka no Ōe menikahi puteri dari Soga no Ishikawanomaro yang merupakan musuh Soga no Emishi dan Soga no Iruka. Sebagai hasilnya, Naka no Ōe dapat bersekutu dengan Soga no Ishikawanomaro, dan memperoleh dukungan dari Saeki no Komaro dan Katsuragi no Wakainukai no Amita.
Selanjutnya, Naka no Ōe dan Nakatomi no Kamatari berhasil membunuh Soga no Iruka pada di istana Itabukinomiya pada tahun ke-4 bertakhtanya Maharaja Kōgyoku (tahun 645). Hari berikutnya, Soga no Emishi tewas bunuh diri setelah membakar sendiri rumah kediamannya, dan berakhirlah pemerintahan suku Soga.
Awal pemerintahan baru
Setelah terjadinya Peristiwa Isshi, Maharaja Kōgyoku turun takhta dan penerusnya adalah Putera Mahkota Naka no Ōe. Namun setelah baginda berunding dengan Kamatari diputuskan agar Putera Karu yang naik takhta sebagai Maharaja Kōtoku, Putera Naka no Ōe dibantu menjadi putera mahkota. Peristiwa tersebut diperkirakan mengulangi keadaan yang terjadi ketika Maharaja Suiko bertakhta sementara Putera Shōtoku sebagai putera mahkota memegang kendali pemerintahan. Maharaja Kōtoku dan Putera Mahkota Naka no Ōe didampingi Menteri Kiri Abe no Uchimaro, Menteri Kanan Soga no Kura no Yamada no Ishikawanomaro, dan Nakatomi no Kamatari sebagai Menteri Dalam (naijin). Mereka dibantu dua cendekiawan kekaisaran, Takamuko no Kuromaro dan biksu Min.
Garis besar
Pada tahun 2 Taika, Maharaja Kōtoku mengeluarkan perintah maharaja tentang duluan pembaharuan pemerintahan yang mendahului reformasi sebelumnya. Walaupun demikian, peristiwa terbunuhnya Soga no Iruka dan Soga no Emishi juga sering dianggap sebagai awal Reformasi Taika.
Ada empat pasal yang menjadi inti perintah maharaja:
- Tanah perseorangan berikut penduduknya yang selama ini milik bangsawan disita, semua tanah dan penduduknya menjadi milik Maharaja.
- Penataan pemerintah daerah dari ibu kota hingga provinsi (kuni) hingga daerah (agata) dan prefektur (kōri), serta pembuatan batas-batas wilayah.
- Pembuatan surat daftar keluarga (koseki) dan buku laporan kepala keluarga (keichō) untuk keperluan jatah tanah pertanian.
- Rakyat dikenakan cukai dan kaum lelaki dalam keluarga wajib menyumbang tenaga bagi pekerjaan negara.
Rujukan
Pautan luar
- (Inggeris) The international position of Japan as a great power oleh Seiji George Hishida (1905)